Ruwatan: Ritual Tradisional untuk Buang Sial di Temanggung

Oleh: Riska Meliyana
Ruwatan atau ngruwat merupakan salah satu tradisi adat Jawa yang masih di jalankan hingga kini di Temanggung. Tradisi ini merupakan tradisi yang dilakukan untuk membuang kesialan atau mengusir energi negatif yang diyakini dapat menganggu kesejahteraan dan keberuntungan seseorang atau suatu kelompok masyarakat. Ritual ini melibatkan kepercayaan sepiritual dan seringkali melibatkan sesepuh atau pemangku adat yang memiliki pengetahuan khusus dalam melaksanakan ritual.
Menurut laman resmi Kemendikbud, ritual ruwatan biasanya disertai dengan pagelaran wayang. Wayang sendiri adalah seni pertunjukan tradisional asli Indonesia yang menggunakan boneka atau media sejenis sebagai alat utama, yang dimainkan oleh seorang dalang untuk menyampaikan cerita. Pagelaran wayang kulit sering membawakan kisah Murwakala. Cerita ini dipercaya memiliki makna simbolis untuk membantu orang yang diruwat agar terbebas dari nasib buruk, sehingga dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dan bahagia. Namun, di beberapa desa pagelaran wayang ini tidak menjadi syarat yang wajib dalam ritual ruwatan, melainkan hanya salah satu bentuk pendukung yang sering dihadirkan untuk memperkuat makna dan nilai tradisi.
Ruatan biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang dianggap penting dalam tradisi dan kepercayaan masyarakat Temanggung. Waktu pelaksanaan ruwatan di Temanggung bervariasi, bergantung pada kebutuhan dan kepercayaan masing-masing individu atau kelompok. Bukan hanya waktu, bentuk dan perlengkapan dari tradisi ini juga dapat berbeda-beda di setiap desa. Namun, secara umum ruwatan di Temanggung sering dilakukan saat terjadi peristiwa atau kejadian yang dianggap membawa kesialan atau energi negatif, seperti sakit atau kematian yang tidak wajar. Tempat pelaksanaan ritual ini dapat berbeda-beda bergantung pada kebutuhan atau keyakinan masyarakat. Ruwatan dapat dilakukan di rumah atau tempat tinggal keluarga yang membutuhkan ruwatan, bisa juga di tempat-tempat yang sakral. Bentuk dari ruwatan sendiri juga dapat berbeda-beda, seperti di desa Tlogopucang, bentuk ruwatan adalah dengan menggiring orang yang diruwat ke sungai dengan diberi cambukan ringan pada jam dua belas siang. Sedangkan di daerah lain, ruwatan dapat berbentuk memotong rambut gimbal seseorang, atau sekadar menggelar acara selamatan dan mengadakan pertunjukan wayang sebagai upaya pembersihan desa.
Adapun kriteria individu yang biasanya di ruwat, yakni golongan orang-orang yang dijuluki ‘Sukerta’. Sukerta adalah golongan orang yang dianggap memiliki kekurangan, kelemahan, atau ketidaksempurnaan. Oleh sebab itu, orang dengan kondisi tersebut perlu menjalani ruwatan, yaitu proses penyucian atau pembersihan agar terbebas dari hal-hal negatif. Beberapa orang yang termasuk dalam gologan sukerta antara lain:
1. Ontang- anting: anak laki-laki atau perempuan tunggal dalam keluarga.
2. Kethana-kethini: dua anak dalam keluarga, yakni satu laki-laki dan satu perempuan.
3. Uger-uger lawang: dua anak laki-laki dalam keluarga.
4. Kembang sepasang: dua anak perempuan dalam keluarga.
5. Pandawa lima: 5 anak laki-laki dalam keluarga.
6. Mancal panggung: 4 anak laki-laki dalam keluarga.
7. Sedhang kapit pancuran: 3 anak dalam keluarga, yakni 2 anak laki-laki dan satu anak perempuan di tengah.
8. Pancuran kapit sendhang: 3 anak dalam keluarga, yakni 2 anak perempuan dan satu anak laki-laki di tengah.
9. Ngayomi: 5 anak perempuan dalam keluarga.
Dalam tradisi ini, serangkaian ritual dan doa khusus dilakukan untuk membersihkan dan melindungi sesorang atau kelompok masyarakat dari pengaruh negatif. Rangkaian ritual ini biasanya diawali dengan pembersihan oleh sesepuh atau pemangku adat dengan menggunakam bahan-bahan tertentu atau benda-benda ritual lainnya. Orang yang diruwat akan disucikan dengan cara menyiramkan air suci ke tubuhnya.. Kemudian, ritual dilanjutkan dengan pembacaan doa. Dalam ruwatan, doa biasanya khusus diucapkan oleh sesepuh atau pemangku adat untuk mengusir energi negatif dan memohon perlindungan kepada Tuhan. Tahap yang terakhir adalah persembahan atau pengorbanan. Dalam kelompok masyarakat tertentu, terdapat pengorbanan hewan atau persembahan berupa sesajen untuk upacara pembersihan, yang konon hal ini dilakukan untuk mendamaikan roh-roh atau entitas spiritual yang terlibat.
Tradisi ini merupakan warisan turun temurun yang masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat hingga kini. Meskipun zaman terus berubah, nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi ruwatan tetap dihormati dan dijalankan.