Oleh: Masrurotul Fuadah
Di sebuah kota yang terletak di tengah-tengah negeri, terdapat pemerintahan yang selalu tampak peduli kepada rakyat. Setiap kali ada acara, para pejabat dengan bangga tampil di layar televisi, mengumbar senyum ramah, dan berjanji akan memperbaiki kehidupan masyarakat. Mereka berbicara tentang kemakmuran, keadilan sosial, dan pemerataan pembangunan. Namun, ada hal yang tidak bisa disembunyikan: senyum itu palsu, dan janji itu hanyalah gula-gula untuk menenangkan hati rakyat.
“Pak, susu mahal, Pak.”
“Sembako!”
“Jalan rusak, Pak!”
“Periode baru!”
“Pejabat palsu!”
Warga kota ini mulai merasakan ketidakadilan di dalam kehidupan sehari-hari. Jalan-jalan yang pernah dijanjikan untuk diperbaiki masih penuh dengan lubang, air yang seharusnya mengalir lancar justru menggenang di sana-sini. Harga-harga bahan pokok semakin melambung tinggi, sementara upah mereka tetap tak berubah. Orang-orang yang bekerja keras setiap hari, tak melihat perubahan nyata dalam hidup mereka. Tetapi yang lebih mengecewakan lagi, ada pemimpin yang terus-menerus berdiri di podium dan berkata, “Kami sudah melakukan banyak hal, kami sudah berusaha keras untuk rakyat.”
Di balik layar, di ruang rapat yang tertutup rapat, semua keputusan dibuat bukan untuk kemakmuran rakyat, tetapi untuk kepentingan pribadi dan kelompok yang berkuasa. Proyek-proyek yang digembar-gemborkan sebagai upaya memperbaiki infrastruktur ternyata hanya sarana untuk memperkaya diri sendiri. Proyek pengadaan barang-barang yang tak terpakai, pembangunan gedung megah yang tak ada urgensinya, dan pembangunan jalan yang tidak kunjung selesai – semuanya itu adalah bukti nyata bahwa rakyat hanya dijadikan alat untuk keuntungan segelintir orang.
Setiap kali ada kerusuhan atau demonstrasi dari masyarakat yang kecewa, pemerintah mengirimkan aparat untuk meredamnya dengan kekuatan. Para pemimpin berbicara tentang “kerusuhan yang tidak diinginkan” dan berjanji akan “memperbaiki segalanya”. Namun, di balik kata-kata itu, mereka justru semakin mempererat cengkeraman kekuasaan mereka dengan cara menekan kebebasan rakyat. Ketika rakyat meminta hak mereka, para pemimpin justru menyebutnya sebagai “ancaman terhadap stabilitas negara”.
Di tengah kebohongan dan ketidakadilan ini, ada seorang pemuda bernama Adi yang tak bisa lagi diam. Adi adalah salah satu dari banyak rakyat yang merasa tertipu dengan janji-janji manis para pemimpin. Ia melihat betapa banyak teman-temannya yang kehilangan pekerjaan, betapa orang tua mereka terpaksa berutang untuk sekadar bertahan hidup, dan betapa sulitnya kehidupan mereka di tengah kebijakan yang semakin membebani.
Suatu hari, Adi berdiri di tengah keramaian kota, dengan megafon di tangannya. Ia mulai berbicara, menyuarakan kekecewaannya kepada semua orang yang lewat.
“Saudara-saudara, apakah kalian masih percaya dengan janji mereka? Pemerintah ini hanya membohongi kita! Mereka bilang mereka peduli, tapi mereka hanya peduli pada uang mereka sendiri!” serunya.
“Kita semua hanya dijadikan alat untuk mereka tetap berkuasa! Mereka bisa terus tersenyum di depan kamera, tapi kita yang menderita di belakang layar!”
Kerumunan mulai berkumpul di sekitar Adi. Banyak yang terdiam, ada yang mengangguk pelan, dan ada pula yang mulai berani berbicara. Seakan ada yang terbangun dalam diri mereka.
“Betul, selama ini kita hanya dibohongi oleh oligarki! Semua untuk kepentingan mereka! Mereka makan harta dan kekuasaannya!”
Mereka menyadari bahwa selama ini mereka hanya menjadi penonton dalam permainan besar yang dimainkan oleh para penguasa.
Namun, tak lama setelah itu, polisi datang, membawa Adi dengan paksa. “Kamu menggangu ketertiban!” kata salah seorang aparat. Meskipun demikian, pesan Adi telah sampai ke hati banyak orang. Perlawanan mulai tumbuh di kalangan rakyat yang sebelumnya diam.
Pemerintah yang dulu tampak baik, mulai menunjukkan wajah aslinya. Mereka mempersiapkan taktik-taktik baru untuk menjaga agar tak ada yang mengancam posisi mereka. Mereka akan terus mendekati rakyat dengan janji-janji kosong, sementara di balik layar, mereka hanya memikirkan cara untuk menangguk keuntungan dari penderitaan orang banyak.
Sementara itu, rakyat yang semakin sadar tak lagi mau dipermainkan. Walaupun mereka belum tahu apa yang akan terjadi, mereka tahu satu hal pasti: senyum pemerintah bukanlah senyum yang tulus. Sebuah senyum yang hanya berfungsi untuk menutupi kebohongan dan ketidakadilan yang sedang berlangsung.