Sepiring Berdua

Oleh : Deby Arum Sari

Hujan sore itu turun pelan, seperti enggan mengganggu kesunyian warung sederhana di ujung desa. Di sudut paling belakang, dua orang duduk saling berhadapan. Meja kayu tua di antara mereka hanya menampung satu piring nasi dengan lauk tempe goreng dan sambal terasi.

Arum menatap Ahmad sambil menyodorkan sendok
“Kamu duluan” katanya.

Ahmad menggeleng pelan
“Kamu saja. Aku masih kenyang tadi makan singkong”

Padahal Arum tahu, singkong yang dimaksud Ahmad tadi hanyalah sisa dari semalam. Sejak ayah dan ibunya meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan motor, Ahmad tinggal sendiri di rumah kecil peninggalan orang tuanya. Tak ada lagi aroma masakan ibu di pagi hari, tak ada lagi suara ayah memanggilnya untuk sarapan. Hanya sepi yang tinggal, ditemani kenangan yang belum juga hilang.

Arum tahu betul semua itu. Sejak kecil mereka berteman dekat, dan saat kehilangan itu datang, Arumlah yang sering membawakan sarapan ke rumah Ahmad. Sekadar nasi bungkus atau roti isi telur, tapi Ahmad selalu menerimanya dengan senyum yang tak pernah benar-benar bisa menyembunyikan luka.

“Tempenya dua, kita bagi” ucap Arum sambil memotongnya.

“Ambil yang besar” kata Ahmad cepat.

Arum mencibir manja
“Katanya kenyang, tapi milih ukuran”

Mereka tertawa kecil. Sepiring nasi itu terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena lauknya banyak, tapi karena kebersamaan mereka membuat semuanya terasa lebih lezat. Di sela-sela suapan, hujan masih turun, membawa aroma tanah basah dan kenangan masa kecil.

“Dulu, Ibu suka masak tempe begini juga, cuma lebih garing” gumam Ahmad, pandangannya menerawang. Arum hanya mengangguk pelan, lalu menyuap nasi ke mulut Ahmad. Tanpa kata, hanya dengan perhatian kecil itu, Arum ingin mengatakan bahwa kamu tidak sendiri.

Setelah makan selesai, Arum mengambil tisu dari tas lusuhnya dan mengusap bekas sambal di sudut bibir Ahmad. Gerakannya pelan, penuh perhatian. Ahmad hanya diam, matanya menatap lekat wajah Arum. Tak ada kata yang keluar, tapi dalam hening itu, keduanya saling bicara lewat tatap. Bukan sekadar teman lama, mereka adalah dua jiwa yang saling memahami tanpa perlu banyak penjelasan.

Di luar, hujan mulai reda. Warung mulai sepi. Arum dan Ahmad belum juga beranjak, seakan ingin memperpanjang waktu yang sederhana tapi berharga itu. Sepiring nasi yang mereka bagi barusan bukan cuma soal makan, tapi tentang hidup, tentang kehilangan, pengertian, dan harapan. Ahmad menggenggam tangan Arum di bawah meja, hangat dan tenang. Dan dalam diam itu, mereka tahu bahwa selama bisa sepiring berdua, luka masa lalu pun perlahan bisa sembuh.

Exit mobile version