CerpenSastra

Sepucuk Surat untuk Ibu

oleh : Ratna Sari

Langit desa sukamakmur sore itu tampak kelabu. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Di sebuah rumah kecil sederhana, duduk seorang anak laki-laki bernama Andi, yang sedang menjalani sekolah tahap akhir, kelas 6 SD, dengan mata sembab dan tangan menggenggam selembar surat yang sudah lusuh.
Andi adalah anak laki laki dari seorang buruh tani. Sejak kecil, ia bermimpi menjadi guru. Bagi Andi, guru adalah sosok paling mulia, seperti Bu Rani sosok wali kelasnya yang selalu sabar membimbingnya meski ia datang ke sekolah tanpa sepatu dan hanya membawa satu buku lusuh, yang kini menjadi idolanya.
Namun, kehidupan tak pernah merasa mudah bagi Andi. Ayahnya meninggal saat Andi masih kelas 2 SD. Sejak saat itu, ibunya banting tulang menjadi buruh cuci. Setiap pagi, sebelum sekolah, Andi membantu ibunya menimba air, menyapu halaman, bahkan mencari kayu bakar ke hutan. Ia baru bisa belajar malam hari, di bawah cahaya lampu minyak yang sering kita sebut sentir.
Suatu hari, Andi dipanggil kepala sekolah. Dengan suara pelan, Pak Rudi berkata, “Andi, ada beasiswa untuk ke SMP di kota. Tapi kau harus tinggal di asrama. Gratis semua, termasuk buku dan seragam.”
Mata Andi berbinar, secercah harapan masuk di angannya. Ia segera pulang dan memeluk ibunya.
“Ibu, aku diterima beasiswa! Aku bisa sekolah di kota!” katanya penuh semangat.
Tapi wajah sang ibu justru tampak murung. “Ibu senang nak mendenganya, Nak… tapi siapa yang akan bantu Ibu di rumah?”
Andi terdiam. Hatinya berkecamuk antara mimpi dan kenyataan.
Malam itu, ia menulis sepucuk surat.
“Ibu, Andi ingin sekolah, Bu. Tapi Andi juga ingin Ibu sehat dan tidak lelah setiap hari. Kalau Ibu izinkan, Andi akan pergi. Tapi kalau tidak, Andi akan tetap di sini, bantu Ibu, temani hari hari ibu. Maaf ya, Bu, Andi belum bisa jadi anak yang hebat.”
Pagi harinya, Andi tak pergi ke sekolah. Ia membantu ibunya seperti biasa. Surat itu ia selipkan di bawah bantal sang ibu.
Seminggu kemudian, saat Andi sedang mencuci piring saat seorang wanita masuk ke halaman rumah. Bu Rani, gurunya.
“Andi, kenapa tidak datang ke sekolah? Kami semua mencarimu,” katanya.
Andi hanya menunduk.
Bu Rani mengeluarkan surat dari tasnya. “Ibumu memberiku ini.”
Air mata mengalir di pipi Andi saat Bu Rani membacakan isi surat ibunya.
“Andi, Ibu bangga padamu. Jangan khawatirkan soal Ibu. Mimpi kamu harus lebih tinggi dari langit. Pergilah, Nak. Jadilah guru seperti yang kamu impikan. Ibu akan baik-baik saja.”
Hari itu, Andi berangkat ke kota dengan mata sembab dan hati yang penuh harap. Ia berjanji pada dirinya sendiri: kelak, ia akan kembali ke desanya sebagai guru untuk membalas cinta ibunya dan menyinari anak-anak lain yang ingin bermimpi setinggi langit seperti dirinya.

Artikel Terkait

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button