Kabartemanggung.com – Rewang atau membantu tetangga saat hajatan merupakan tradisi yang masih dijaga di banyak daerah di Indonesia. Kegiatan ini mencerminkan nilai gotong royong dan solidaritas masyarakat. Namun, di balik keindahan tradisi ini, ada sisi gelap yang sering luput dari perhatian. Sejumlah orang mulai mempertanyakan praktik ini, terutama terkait eksploitasi tenaga kerja, tekanan sosial, dan ketidakadilan yang dirasakan oleh para peserta.
Salah satu persoalan utama adalah beban kerja yang tidak seimbang. Banyak rewang diminta bekerja dari pagi hingga malam tanpa jeda, melakukan pekerjaan fisik berat seperti memasak, mengangkat peralatan, hingga membersihkan lokasi acara. Ironisnya, upah atau bentuk penghargaan lainnya sering kali tidak diberikan. Bagi banyak orang, kontribusi tenaga ini dianggap sebagai bentuk pengabdian kepada komunitas, meski bagi sebagian rewang, hal ini terasa seperti eksploitasi.
Selain itu, rewang sering kali dilakukan di bawah tekanan sosial. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi ini, absen dari rewang dapat menimbulkan stigma negatif. Mereka yang tidak hadir, baik karena alasan kesehatan atau kesibukan pribadi, kerap dianggap tidak peduli atau egois. Akibatnya, banyak orang merasa terpaksa datang meski sebenarnya keberatan.
Perempuan sering menjadi kelompok yang paling terdampak dalam tradisi ini. Mereka biasanya memikul sebagian besar tanggung jawab rewang, terutama dalam pekerjaan dapur yang membutuhkan tenaga ekstra dan ketelitian. Dalam banyak kasus, peran perempuan dalam rewang dianggap wajar dan jarang mendapat apresiasi. Hal ini memperkuat beban ganda yang sering dialami perempuan di dalam masyarakat tradisional.
Selain beban fisik, ada juga dampak finansial bagi keluarga yang mengadakan hajatan. Meskipun rewang membantu meringankan pekerjaan, tuan rumah sering kali merasa terbebani untuk menyediakan makanan berlimpah bagi semua peserta. Bagi keluarga dengan keterbatasan ekonomi, hal ini menjadi tantangan besar yang justru bertentangan dengan semangat saling membantu yang seharusnya menjadi inti dari tradisi rewang.
Tidak hanya itu, dalam beberapa kasus, konflik antarwarga muncul akibat ketidakseimbangan kontribusi. Ada orang yang merasa mereka bekerja lebih keras daripada yang lain, sementara ada yang hanya hadir untuk “meramaikan” tanpa memberikan kontribusi nyata. Ketegangan semacam ini dapat menciptakan friksi sosial yang justru merusak hubungan antarwarga.
Tradisi rewang yang selama ini dianggap sebagai wujud solidaritas perlu dievaluasi agar lebih relevan dengan kehidupan modern. Menghargai kontribusi setiap individu secara adil, mengurangi tekanan sosial, dan membatasi beban kerja fisik yang berlebihan adalah langkah penting untuk menjaga nilai-nilai gotong royong tanpa mengorbankan kesejahteraan anggota masyarakat. (KT44/Feiza)