
Oleh: Riska Meliyana
“Hati-hati, ya.”
Hal terakhir yang gadis itu lihat sebelum terbangun dari tidurnya adalah wajah teduh seorang lelaki yang selama beberapa tahun ini menjadi pusat dari kehidupannya.
Gadis itu bernama Jenna, ia adalah seorang anak, seorang kakak, seorang sahabat, dan seorang mahasiswa yang tengah menata hidupnya. Ia ingin terus melangkah tak peduli goyah, ingin terus merintis tak peduli grimis, bahkan saat tak jarang hilangnya rasa percaya diri mengerdilkan diri sendiri. Ia tidak pernah dan tidak ingin menyerah, karena di sisinya ada seseorang yang medukungnya kala berjuang, merengkuhnya kala terbuang, dan tersenyum kepadanya saat yang lain mengkritik kekeliruannya. Namun apa yang terjadi jika orang itu direnggut dari hidupnya?
Sebulan yang lalu, di tengah jalan menuju perantauan, ia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Entah mengapa hatinya berdesir, seakan sesuatu dalam dirinya meronta meminta dipulangkan. Di samping itu, pikirannya berkecamuk mengingat pesan terakhir dari seorang lelaki yang berarti di hidupnya, Tirta. Entah mengapa diksi ‘hati-hati’ membuatnya terusik dan ingin kembali. Mengingat beberapa hari ini hubungannya tidak berjalan begitu baik, ia merasa sedikit cemas. Dewasa ini, suatu hubungan sulit untuk dipertahankan jika tidak ada kejelasan bukan?
Sesampainya di perantauan, Jenna istirahat sejenak, menyapu segala riuh di kepala dengan memejamkan mata. Ia menatap setiap sudut kamar kontrakan kecil yang ia sewa dengan harapan yang menyala. “Semoga semester ini akan ada banyak kesempatan yang menyapa.” batinnya.
Dalam hati ia mengobarkan semangat tanpa henti, meyakinkan diri sendiri untuk tetap berdiri melewati apa saja yang akan Tuhan ujikan kepada dirinya nanti. Berkali-kali ia menghembuskan nafas lega, sebelum pada akhirnya setiap harap yang tengah coba ia hirup itu menjadi sesak kala dering ponsel yang terdengar mendesak itu memukulnya telak.
“Halo, Ra,” Suara lirih sahabatnya di ujung sana terdengar sangat asing.
“Iya, ada apa Via? Tumben telfon,” Balas Jenna merasa janggal.
“Kamu udah denger kabar Tirta kecelakaan belum?” Mendengar suara yang terdengar penuh keraguan di seberang, Jenna memilih untuk tidak menganggapnya dengan serius.
“Hah? Orang tadi aja pas aku mau berangkat dia chat nyuruh hati-hati, kok.” Apa yang keluar dari mulutnya adalah bukan bagian daripada hatinya yang tengah berdesir takut, keberaniannya kembali menciut.
“Tirta udah ga ada, Ra.” Kalimat yang dilontarkan Via berhasil membuat Jenna membeku.
Tombol merah di ponsel itu Jenna tekan segera, kemudian dengan tangan gemetar ia membuka kembali room chatnya dengan Tirta, dan melihat spam chat darinya yang masih belum ada jawaban. Ia menekan tombol telepon berulang kali dengan frustasi.
“Ga aktif, ga aktif, ga aktif, kenapa ga aktif..” racaunya frustasi.
Ia masih belum percaya sebelum pada akhirnya adiknya mengirimkan foto Tirta dengan balutan seragam rumah sakit dan terbujur tidak berdaya. Seketika tangannya gemetar, tatapannya kosong, segala kenangaan menggenang di kepalanya, segala kemesit ditempa pada hatinya. Ia menangis seakan tiada seorangpun yang bisa menolongnya.
“Tuhan, aku baru saja berdoa untuk segala hal yang baik, tapi kenapa..”
“Aku bahkan belum meminta maaf, aku belum berterima kasih, aku belum kasih tahu ke dia kalo aku sayang banget sama dia terlepas dari kesulitan yang menempa kita..”
“Kenapa Tuhan ambil kamu dari aku, Ta? Kenapa Tuhan ambil orang yang ketulusannya bisa aku rasain?”
Jenna terus meracau, kacau. Harapan yang baru saja ia hantarkan dengan doa dan senyuman langsung dipatahkan. Ia menangis di sudut kamar itu tanpa bisa kembali, entah ke rumah atau masa sebelum ponsel itu berbunyi. Sejak saat itu, yang ia partanyakan adalah ‘Mulai dari mana kesalahan itu?’, ‘Apakah ini cara Tuhan mengabulkan doa mereka?’
Butuh waktu lama untuk Jenna bisa menjelaskan pada dirinya sendiri tentang arti kehilangan, tentang arti kepergiannya. Bahwa itu semua bergantung pada sudut pandang kita melihat kematian itu sendiri. Jenna memilih belajar menerima, lalu ingin percaya bahwa yang telah digariskan adalah yang terbaik untuk Tirta. Seperti saat ini, Jenna bangkit dari sujudnya, mengadahkan tangan memohon untuk dikembalikan menjadi orang yang berdoa, karena barangkali ia melangkah terlalu jauh sebelumnya.
“Tidak apa, aku akan menjadi lebih baik dengan mengingatmu. Benar seperti katamu, di ujung jalan ini, jika bukan kebahagiaan, maka kita akan menemukan sebuah pelajaran. Aku tidak akan hancur untuk kesekian kalinya dengan mencaci ketidakadilan Tuhan.” Gumamnya.
Tidak ada yang pernah baik-baik saja dengan kehilangan orang yang kita sayang. Bahkan yang lebih menyakitkan dari pada itu adalah kehilangan orang yang menyayangi kita. Tapi, yang paling ujung dan paling pasti dari kehidupan adalah kematian itu sendiri. Perihal kehilangan, itu adalah sebuah kepahitan, tapi bisa jadi juga merupakan pertolongan bagi yang berpulang. Pilih saja dari sudut pandang mana kamu ingin menilainya. Pilih saja ingin hancur atau memperbaiki diri bersama kepergiannya.