Oleh Hamidulloh Ibda
Di sebuah desa yang terletak di lembah pegunungan, hiduplah seorang anak bernama Sumbing. Sumbing adalah anak tunggal dari seorang janda bernama Nyai Retno, yang terkenal sebagai perempuan paling sabar di desanya. Sejak kecil, Sumbing tumbuh menjadi anak yang berbeda dari anak-anak lainnya. Bibirnya sumbing, sebuah cacat yang membuatnya dijauhi teman-teman sebayanya. Namun, cacat itu bukanlah satu-satunya yang membuatnya berbeda; Sumbing juga dikenal keras kepala, pemarah, dan sering tidak patuh pada ibunya.
Sejak ayahnya meninggal ketika ia masih kecil, Nyai Retno bekerja keras untuk membesarkan Sumbing seorang diri. Ia menggarap sawah, menenun kain, dan melakukan pekerjaan apapun yang bisa menghasilkan uang demi Sumbing. Namun, bukannya berterima kasih dan menghargai usaha ibunya, Sumbing justru tumbuh menjadi anak yang durhaka.
Suatu hari, saat Sumbing sudah menginjak usia remaja, ia semakin sering menentang ibunya. Jika Nyai Retno meminta tolong, Sumbing akan mengeluh. Jika Nyai Retno menasihati, Sumbing akan marah dan membentaknya. Tetangga-tetangga sering melihat Nyai Retno meneteskan air mata dalam diam, tapi ia tidak pernah mengeluhkan kelakuan anaknya pada orang lain.
Suatu sore, ketika Nyai Retno sedang menjemur padi di halaman, Sumbing datang dengan wajah marah. “Mak, aku tidak mau tinggal di desa ini lagi! Semua orang memandang rendah padaku! Aku mau pergi ke kota, mencari kehidupan yang lebih baik!” bentak Sumbing tanpa basa-basi.
Nyai Retno terdiam sejenak, lalu dengan suara lembut namun tegas, ia berkata, “Nak, kota bukanlah tempat yang mudah. Kau harus siap menghadapi kerasnya kehidupan di sana. Apakah kau benar-benar siap?”
“Aku lebih baik mati di kota daripada terus hidup seperti ini! Aku benci tempat ini, dan aku benci menjadi anakmu!” teriak Sumbing.
Kata-kata itu terasa seperti belati yang menghunjam hati Nyai Retno. Namun, ia hanya menunduk dan berkata, “Jika itu yang kau inginkan, pergilah. Tapi ingat, anakku, pintu rumah ini selalu terbuka untukmu.”
Tanpa rasa bersalah, Sumbing mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan desa tanpa menoleh ke belakang. Ia pergi ke kota dengan harapan bisa mengubah nasibnya dan membuktikan kepada dunia bahwa ia bisa sukses meskipun ia memiliki kekurangan.
Di kota, Sumbing menghadapi kenyataan yang jauh lebih keras dari yang ia bayangkan. Tanpa pendidikan dan keterampilan yang memadai, ia kesulitan mencari pekerjaan. Hari-harinya dihabiskan dengan mencari-cari pekerjaan serabutan, dan malam-malamnya sering diisi dengan tidur di emperan toko atau di bawah jembatan. Uang yang sedikit ia miliki habis dalam sekejap, dan ia sering kelaparan. Namun, harga dirinya yang tinggi membuatnya enggan pulang ke desa.
Suatu malam, ketika hujan deras mengguyur kota, Sumbing berlindung di sebuah gubuk tua yang ditinggalkan. Di tengah kegelapan dan dinginnya malam, ia merasakan kesepian yang luar biasa. Ingatannya kembali pada ibunya, Nyai Retno, yang selalu menyayanginya meskipun ia sering durhaka. Hatinya mulai diliputi penyesalan yang mendalam.
“Mengapa aku begitu bodoh? Mengapa aku meninggalkan ibu yang selalu menyayangiku?” Sumbing bertanya pada dirinya sendiri. Ia merasa semakin hina dan tak berharga. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Sumbing menangis. Ia menangis untuk semua kesalahan yang telah ia perbuat, untuk semua kata-kata kasar yang ia ucapkan pada ibunya, dan untuk semua penyesalan yang kini menyesakkan dadanya.
Keesokan paginya, dengan sisa tenaga yang ada, Sumbing memutuskan untuk pulang. Ia berjalan kaki menyusuri jalanan, tanpa memperdulikan rasa lapar dan lelah yang mendera. Satu-satunya yang ada di pikirannya adalah ibunya. Ia harus meminta maaf, ia harus menebus kesalahannya.
Saat Sumbing tiba di desanya, tubuhnya sudah sangat lemah. Ia berjalan tertatih-tatih menuju rumah kecil yang selama ini ditinggalinya bersama ibunya. Namun, saat ia tiba di halaman rumah, pemandangan yang ia lihat membuat hatinya terasa hancur.
Di depan rumah, beberapa tetangga berkumpul, dan di tengah-tengah mereka terbaring tubuh ibunya, Nyai Retno. Wajahnya tampak tenang, seolah-olah ia sedang tidur, namun Sumbing tahu, ibunya sudah tiada. Ia jatuh berlutut di sisi ibunya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar kehilangan.
“Ibu… ampuni aku…,” bisik Sumbing dengan suara yang pecah. Namun, ibunya tidak akan pernah bisa mendengar permintaan maafnya.
Tangis Sumbing pecah, dan semua penyesalan yang selama ini ia pendam keluar begitu saja. Para tetangga yang melihatnya hanya bisa menunduk, merasa iba pada anak yang telah tersesat ini. Mereka tahu betapa Nyai Retno mencintai anaknya, meskipun Sumbing sering menyakitinya.
Hari itu, Sumbing menguburkan ibunya dengan tangan sendiri, diiringi air mata yang terus mengalir. Setelah pemakaman, ia kembali ke rumah ibunya, kini kosong dan sunyi. Di sana, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil di bawah bantal ibunya. Di dalamnya terdapat surat-surat yang ditulis oleh Nyai Retno, semua untuk Sumbing. Setiap surat berisi doa dan harapan agar Sumbing kembali, agar ia selalu diberi kesehatan dan keselamatan.
Sumbing merasa hatinya semakin hancur. Ia menyesal, sangat menyesal. Tapi penyesalan itu sudah terlambat. Ibu yang selalu mencintainya telah pergi untuk selamanya, dan ia hanya bisa hidup dengan bayang-bayang kesalahan masa lalunya.
Sejak saat itu, Sumbing berubah. Ia menjadi sosok yang pendiam dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan bekerja di sawah ibunya. Ia merawat tanah itu dengan penuh cinta, seolah-olah setiap tanaman yang tumbuh adalah bentuk permintaan maafnya pada ibunya.
Meskipun penduduk desa tidak pernah lagi mendengar suara amarah dari Sumbing, mereka tahu bahwa pria itu kini hidup dengan beban yang berat di hatinya. Ia telah belajar arti cinta, pengorbanan, dan penyesalan dengan cara yang paling menyakitkan.
Dan setiap malam, saat bintang-bintang mulai muncul di langit, Sumbing duduk di beranda rumah, menatap ke atas, seolah-olah berharap bisa melihat wajah ibunya di antara bintang-bintang itu. Hanya ada satu doa yang terus ia panjatkan, “Ibu, ampuni aku… semoga kau tenang di sana.”
Dengan doa itu, Sumbing menemukan sedikit kedamaian, meskipun hatinya akan selalu menyimpan luka yang tak pernah sembuh.
Biodata Penulis
-Hamidulloh Ibda adalah dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung, Jawa Tengah. Mendapatkan gelar doktor dan menjadi wisudawan terbaik pada Prodi S3 Pendidikan Dasar UNY tahun 2024.