
Oleh : Ratna Sari
Setiap kali mendengar kalimat “Surga ada di telapak kaki ibu,” Nadine hanya terdiam.
Bukan karena ia tak mempercayainya, tapi karena ia sudah kehilangan sosok yang membawa surga itu sekarang.
Tiga tahun telah berlalu sejak ibunya meninggal. Dan sejak saat itu, setiap kali orang-orang membicarakan bakti kepada ibu, tentang menyuapi, merawat, memijat kaki yang lelah, atau hanya membuatkan makan. Nadine hanya menelan diam. Ia tak punya lagi telapak kaki itu. Tak ada lagi pelukan hangat atau suara lembut yang menyambutnya saat pulang.
Teman-temannya masih bisa mencium tangan ibu mereka sebelum berangkat, mengirim pesan “sudah makan belum” ataupun “pulang jam berapa” bahkan sesekali bertengkar lalu berbaikan. Nadine hanya bisa mengamati dari jauh, seraya menahan sesak di dadanya sendiri.
Suatu malam, sahabatnya, Lila bertanya, “Kenapa kamu akhir-akhir ini sering melamun, Nad?”
Nadine menunduk, dengan suara tercekat lalu menjawab pelan, “Karena surgaku tidak sedekat kalian.”
Tak semua orang mengerti apa maksudnya. Tapi bagi Nadine, kalimat itu menyimpan beban rindu dan kehilangan yang dalam. Ia tak lagi bisa menebus dosa masa lalu dengan pelukan. Tak bisa meminta maaf secara langsung. Surga, yang dulu katanya begitu dekat, kini terasa jauh, menggantung di antara doa dan kenangan.
Namun, perlahan-lahan Nadine mulai mengerti. Bahwa surga memang ada di telapak kaki ibu itu dalam artinya bakti anak kepada ibunya. Surga juga bisa dijangkau dalam cara seseorang hidup. Dalam bagaimana ia memperlakukan orang lain, bagaimana cara ia beribadah, bagaimana menjaga nama baik orang tuanya, dan mendoakan ibu yang telah tiada setiap malam.
Jika surga memang pernah ada di bawah langkah ibunya, maka kini surga itu adalah jejak yang harus ia lanjutkan.
Dan Nadine tahu, meski jalannya tak mudah, lebih panjang, dan tidak sedekat orang lain, ia masih punya kesempatan. Untuk menjemput surga itu, meski lewat doa, air mata, cinta yang tak pernah selesai dan dengan cara yang tak sama.