Tedak Siten: Ritual Menyambut Kelahiran Bayi di Desa Tlogopucang

Oleh: Riska Meliyana
Tradisi tedak siten merupakan salah satu ritual adat jawa di Temanggung yang dilakukan sebagai bagian dari rangkaian perayaan atas kelahiran seorang bayi. Ritual ini mencakup berbagai simbolisasi yang memiliki makna mendalam bagi masyarakat yang menjalankannya. Tedak Siten berasal dari kata ‘Tedak’ yang berarti melangkah, dan ‘Siten’ berasal dari kata ‘siti’ yang artinya tanah atau bumi. Jadi, tedak siten dapat diartikan melangkah di bumi.
Tradisi penyambutan kelahiran bayi ini masih begitu kental dan masih dijalankan hingga saat ini di desa Tlogopucang. Desa tersebut merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung. Di sana, tradisi ini biasanya dikenal dengan istilah ‘ngedun-dunke’. Di desa tersebut, tradisi ini pada umumnya dilaksanakan pada saat bayi berumur kurang lebih tujuh bulan. Tradisi ini juga biasanya dilakukan dengan melibatkan berbagai ritual dan tata cara.
Prosesi ngedun-dunke diawali dengan pembacaan doa, kemudian dilanjutkan membaca solawat oleh tamu yang hadir. Sementara itu, bayi digendong dan di ajak berputar di tengah tamu undangan yang membaca solawat. Terakhir, kaki bayi di tapakkan di atas bubur merah atau jadah sebagai simbol langkah awalnya dalam keidupan. Di desa Tlogopucang, seluruh rangkaian acara dipandu berdasarkan syariat Islam. Selain itu, terdapat juga sedikit perbedaan dalam pelaksanaan tradisi tersebut, yakni pada rangkaian acaranya yang lebih sederhana, dan alat-alat yang digunakan masih sangat tradisional.
Beberapa alat dan bahan yang wajib ada dan digunakan dalam tradisi ngedun-dunke, antara lain:
1. Sesajen, merupakan persembahan yang wajib ada dalam tradisi tersebut. Biasanya dalam tradisi ini, sesajen berisi jajanan pasar, pari, sekantung beras dan uang receh sejumlah dua ribu seratus rupiah, serta bunga regulung atau mawar merah.
2. Bubur merah putih dan Jadah, biasanya bubur ini akan diinjak oleh sang anak pada saat pelaksanaan ritual. Bubur ini melambangkan kehidupan yang nantinya akan dilalui oleh sang anak.
3. Tebu, merupakan tanaman yang juga digunakan dalam tradisi tersebut. Masyarakat di desa Tlogopucang menyebut bahwa kepanjangan dari tebu adalah anteping kalbu atau kemantapan hati.
4. Payung, merupakan alat yang digunakan untuk memayungi sang bayi ketika ritual berlangsung.
Semua alat-alat tersebut memiliki fungsi dan makna tersendiri dalam ritual tersebut. Tradisi ini mempunyai sejarah dan filosofi yang tinggi. Masyarakat yang melaksanakan tradisi ini berharap agar sang anak senantiasa sehat dan sukses dalam menapaki kehidupan. Tradisi ini juga memiliki akar budaya yang sangat tua dan berkembang sejak zaman dahulu di kalangan masyarakat Jawa. Tradisi ini diwariskan secara turun-temurun dan terus berkembang hingga saat ini di kalangan masyarakat.