Oleh: Ghaida Mutmainnah
Temanggung, sebuah kabupaten kecil di Jawa Tengah, bukan sekadar titik di peta yang dilintasi kendaraan antarkota. Ia adalah sebuah wilayah yang dianugerahi keindahan alam, kekayaan budaya, serta masyarakat yang hidup selaras dengan lingkungannya. Berada di antara dua gunung kembar Sindoro dan Sumbing Temanggung tumbuh dalam pelukan alam yang subur, hijau, dan memesona. Namun, lebih dari sekadar lanskap indah, Temanggung menyimpan pelajaran berharga tentang bagaimana harmoni antara manusia dan alam dapat tetap terjaga di tengah arus modernitas.
Kabupaten Temanggung dikenal sebagai daerah pertanian yang produktif. Dataran tinggi yang menyelimuti wilayah ini menjadikannya tanah yang subur, cocok untuk berbagai jenis tanaman seperti kopi, tembakau, sayuran, dan palawija. Bukan hal yang asing melihat petani-petani memulai harinya sejak fajar menyingsing, menapaki pematang sawah atau lereng-lereng gunung untuk merawat ladang mereka. Bagi masyarakat Temanggung, alam bukan sekadar latar hidup melainkan sumber kehidupan itu sendiri.
Keberadaan Gunung Sindoro dan Sumbing tidak hanya menjadi simbol geografis, tetapi juga spiritual dan budaya. Banyak masyarakat di kaki gunung yang masih memegang tradisi sedekah bumi, sebagai wujud rasa syukur terhadap alam. Di sinilah terlihat harmoni yang unik antara manusia dengan alam—bukan hanya dalam bentuk eksploitasi, melainkan hubungan timbal balik yang diwarnai rasa hormat.
Gunung Sindoro dan Sumbing seolah menjadi penjaga abadi bagi masyarakat Temanggung. Gunung-gunung ini tidak hanya menjadi objek pendakian atau destinasi wisata, tetapi juga sumber air, sumber cerita, hingga bagian dari identitas kolektif masyarakat. Dalam budaya lokal, terdapat berbagai mitos dan legenda yang berkaitan dengan kedua gunung tersebut, yang mengajarkan nilai-nilai kebijaksanaan, keberanian, serta cinta terhadap alam.
Salah satu bentuk kearifan lokal yang masih terjaga adalah praktik pertanian tembakau di lereng gunung. Tembakau Temanggung terkenal karena kualitasnya yang tinggi, khususny jenis tembakau kemloko yang tumbuh optimal di tanah vulkanik. Namun, petani di sini tidak sembarangan menanam; mereka mengikuti penanggalan Jawa dan memperhatikan tanda-tanda alam sebelum mulai bertani. Ini membuktikan bahwa ilmu pengetahuan lokal telah lama menjadi fondasi keberlanjutan pertanian di wilayah ini.
Dalam satu dekade terakhir, geliat pariwisata mulai terasa di Temanggung. Banyak destinasi wisata berbasis alam bermunculan seperti Sigandul View, Embung Kledung, hingga Wisata Alam Posong yang terletak di kaki Gunung Sindoro. Tempat-tempat ini menawarkan panorama alam yang luar biasa: lautan awan, sunrise, dan hamparan kebun yang hijau menyegarkan mata.
Namun, geliat ini juga membawa tantangan baru. Perubahan fungsi lahan, sampah wisatawan, dan pembangunan infrastruktur yang tidak ramah lingkungan menjadi ancaman bagi harmoni yang selama ini terjaga. Di sinilah dibutuhkan pendekatan bijak dari pemerintah daerah, pengelola wisata, dan masyarakat agar alam Temanggung tidak hanya menjadi daya tarik sementara, tetapi tetap lestari untuk generasi mendatang.
Sebagian komunitas sudah mulai merintis ekowisata berbasis masyarakat. Mereka tidak hanya menjual keindahan alam, tetapi juga menyertakan nilai-nilai edukatif dan budaya lokal dalam setiap pengalaman wisata. Ini adalah langkah positif untuk menjadikan pariwisata sebagai alat pelestarian, bukan perusakan.
Salah satu ciri khas Temanggung adalah ritme hidup masyarakatnya yang tidak terburu-buru. Di pasar-pasar tradisional, para pedagang masih menyapa pelanggan dengan ramah. Di warung kopi, obrolan santai berlangsung tanpa harus menatap layar ponsel. Di ladang, para petani bekerja dengan kesabaran dan ketekunan. Semua ini mencerminkan filosofi hidup yang bersahaja, jauh dari hiruk-pikuk kota besar.
Kondisi ini sebenarnya merupakan aset sosial yang luar biasa. Di era digital dan urbanisasi yang cepat, tempat-tempat seperti Temanggung menjadi “oase” kehidupan yang lebih manusiawi. Banyak orang dari kota besar datang ke Temanggung bukan hanya untuk liburan, tetapi untuk mencari ketenangan, inspirasi, bahkan untuk menetap dan memulai hidup baru.
Keindahan dan harmoni yang dimiliki Temanggung bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Ia adalah hasil dari relasi panjang antara manusia dengan alam, yang dibangun di atas nilai-nilai kesederhanaan, gotong royong, dan kearifan lokal. Namun, di tengah arus globalisasi dan modernisasi, harmoni ini bisa saja terkikis jika tidak dijaga dengan sungguh-sungguh.
Langkah pelestarian harus dimulai dari pendidikan lingkungan sejak dini, peraturan pembangunan yang berkelanjutan, serta pemberdayaan masyarakat lokal agar tetap menjadi aktor utama dalam setiap proses pembangunan. Pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, pelaku usaha, dan generasi muda harus bersinergi untuk menciptakan masa depan Temanggung yang tetap selaras dengan alam.
Temanggung bukan hanya sebuah tempat di antara dua gunung kembar. Ia adalah simbol dari kehidupan yang harmonis antara manusia dengan alam, budaya yang masih hidup, serta masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai lokal. Di bawah kaki Sindoro dan Sumbing, kehidupan mengalir tenang, namun penuh makna. Temanggung mengajarkan kita bahwa kemajuan tidak harus selalu berbenturan dengan kelestarian, dan bahwa keindahan sejati adalah ketika manusia hidup berdampingan dengan alam dalam damai.