Tepi Langit Semester Akhir

Oleh: Masrurotul Fuadah

Di sebuah kampus yang berada di tengah kota, Raka duduk dengan raut muka gelisah di sudut perpustakaan. Buku-buku yang tergeletak di meja tak lagi menarik perhatiannya. Ia sudah sering membaca materi-materi itu, tapi tak ada yang bisa menenangkan pikirannya. Semester akhir, kata orang, adalah waktu untuk menentukan masa depan. Namun, bagi Raka, masa depan itu terasa semakin jauh, bahkan tak terjangkau.

Raka adalah mahasiswa semester akhir jurusan Teknik Informatika. Selama empat tahun kuliah, ia berlari mengejar target—nilai yang sempurna, proyek-proyek yang berhasil, dan segala prestasi yang bisa membuktikan bahwa ia layak di dunia profesional nanti. Namun, seiring berjalannya waktu, ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Rasa nyaman yang dulu ia rasakan saat pertama kali kuliah, kini berubah menjadi kecemasan yang menghantui setiap langkahnya.

“Raka, kamu belum ketemu dosen pembimbing skripsi, kan?” tiba-tiba suara teman sekelasnya, Rina, menyadarkannya.

Raka menoleh dan melihat Rina yang sedang membawa laptop besar. Rina adalah teman satu angkatan yang selalu tampak ceria dan penuh semangat. Dia sudah hampir selesai dengan skripsinya, sedangkan Raka masih terjebak di bagian awal.

“Belum, Rin. Aku bingung mau menulis apa,” jawab Raka, merapikan buku-bukunya tanpa melihat layar laptopnya.
Rina tersenyum . “Aku tahu kok, kamu nggak perlu khawatir. Skripsi itu cuma soal konsistensi. Kalau kamu sudah pilih topik yang kamu suka, semuanya akan jadi lebih mudah.”

Raka hanya mengangguk pelan. Ia merasa Rina benar, tapi rasa cemas tetap ada, seperti bayangan yang tak pernah lepas. Raka merasa waktu berjalan begitu cepat, sementara ia masih berada di titik yang sama, masih bingung dengan apa yang ingin ia capai di dunia luar setelah kuliah.

Keesokan harinya, Raka berusaha menemui dosen pembimbing skripsinya, Pak Budi. Beliau adalah dosen yang terkenal tegas, namun juga penuh pengertian. Raka sudah menyiapkan sedikit draf proposal untuk dibahas, meski ia merasa kurang yakin dengan topik yang dipilihnya.

“Pak, saya sudah siapkan proposal untuk skripsi ini. Tapi, saya masih ragu apakah ini cukup untuk memenuhi syarat,” kata Raka pelan saat duduk di hadapan Pak Budi.
Pak Budi membaca dengan seksama, kemudian meletakkan kacamata di atas meja dan menatap Raka.
“Raka, kamu punya ide bagus, tapi yang lebih penting adalah motivasi di balik ide itu. Kamu harus tahu kenapa kamu memilih topik ini, dan apa yang ingin kamu capai dengannya. Ingat, skripsi itu bukan hanya soal hasil, tapi juga proses berpikir yang kamu lalui.”

Raka terdiam. Kata-kata Pak Budi menyentuhnya. Ia mulai berpikir, apakah selama ini ia hanya mengikuti arus, ataukah ia benar-benar tahu apa yang ia inginkan dalam hidupnya.

Hari-hari berlalu, dan Raka mulai mencari jawabannya. Ia mulai mengevaluasi setiap keputusan yang pernah ia ambil selama kuliah. Apakah ia memilih jurusan ini karena passion atau karena dorongan dari orang lain? Apakah ia mengejar nilai tinggi hanya untuk memenuhi ekspektasi orang tua atau untuk dirinya sendiri?

Suatu malam, saat ia duduk sendirian di ruangan, Raka memutuskan untuk menulis apa yang ada di pikirannya. Ia mulai menulis tentang perasaannya, tentang kebingungannya, tentang impian-impian yang dulu pernah ia simpan di dalam hati. Dari sana, ia menemukan sebuah titik terang. Mungkin skripsi bukan hanya tentang tugas akademik yang harus diselesaikan, melainkan juga tentang menemukan kembali dirinya yang sempat terlupakan.

Dengan semangat yang baru, Raka kembali menemui Pak Budi dan mengajukan topik baru untuk skripsinya, sebuah topik yang tidak hanya berfokus pada teknologi, tetapi juga pada bagaimana teknologi dapat mempengaruhi kehidupan sosial. Pak Budi setuju dengan penuh dukungan.
Akhirnya, meskipun perjalanan Raka masih panjang dan penuh tantangan, ia menyadari satu hal: hidup ini bukan soal bagaimana cepat kita sampai di tujuan, tetapi tentang bagaimana kita menemukan makna di setiap langkah yang kita ambil.

Di tepian langit semester akhir, Raka tidak lagi merasa terbebani. Ia belajar bahwa masa depan bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan, melainkan sesuatu yang akan terbentuk seiring dengan usaha dan keberanian untuk mengikuti panggilan hati.

Exit mobile version