
Oleh: Laras Novita Ardani
Malam ini, seorang laki-laki sedang duduk termenung di teras rumahnya, hatinya sedang gelisah dan pikirannya sedang tidak karuan. Laki-laki tersebut bernama Dika, ia baru saja mendapat kabar dari kekasihnya yang sudah ia pacari selama 5 tahun bahwa hubungan mereka tidak cocok karena terhalang weton yang tidak cocok.
“Dika, kata ayahku weton kita tidak cocok, seandainya kita tetap menikah maka hubungan pernikahan kita akan penuh dengan masalah”, ujar Putri dengan raut muka menahan tangis.
Dika hanya bisa menghela napas panjang, bagai di sambar petir di siang hari.
“Putri, tapi itu hanya hitungan tradisi. Badai dalam hubungan rumah tangga pasti ada Putri, jangan terlalu percaya dengan perhitungan weton. Kita yang menjalani hubungan ini, bukan perhitungan weton”, jawab Dika dengan tegas.
“Aku tau Dika, tapi ayahku sangat percaya dengan perhitungan weton. Keluarga besar ku juga masih sangat percaya dengan tradisi yang masih berlaku di lingkungan kami”, Putri menatap Dika dengan air mata yang sudah menetes di pipi.
Percakapan tersebut masih terngiang di kepala Dika. Dirinya dan Putri saling mencintai dan sudah berjanji untuk membangun rumah tangga bersama, namun ujian mereka ada di perhitungan weton. Keluarga Putri sangat menjunjung tinggi tradisi dan adat istiadat jawa.
Seminggu setelah kejadian itu, Dika dan Putri mengunjungi tetua desa tempat Putri tinggal, bernama Mbah Sabdo. Kata orang-orang Mbah Sabdo paham soal hitungan weton, banyak calon pengantin yang menemui Mbah Sabdo untuk membaca weton. Namun, meskipun Mbah Sabdo pandai dalam hitungan weton, beliau sangat bijaksana dan realitis dalam menghadapi kehidupan.
“Mbah, saya kesini sebelumnya untuk bersilaturahmi dengan mbah dan maksud tujuan saya dan pacar saya kesini untuk melihat perhitungan weton kami mbah, kami berencana untuk menikah namun kata ayah dari pacar saya hitungan weton kami tidak cocok mbah”, ujar Dika.
“Jadi kalian berdua kesini karena weton kalian tidak cocok?”, tanya Mbah Sabdo.
“Nggih Mbah, keluarga saya sangat memegang erat tradisi jawa dan kami tidak bisa menentang itu. Keluarga saya juga bilang kalau kita menikah maka rumah tangga kita akan penuh dengan musibah”, ujar Putri.
“Nak weton itu bukan jadi landasan hubungan kalian akan lanjut ke pernikahan atau tidak. Jadikan cinta kalian sebagai dasar perjuangan, kalau kalian benar-benar saling mencintai maka tunjukkan ke keluarga Mba Putri. Tunjukkan meski weton tidak memihak, hati kalian akan terus berjuang untuk sampai ke pelaminan”, nasihat Mbah Sabdo.
Dika dan Putri hanya terdiam saja, kata-kata Mbah Sabdo membangkitkan semangat mereka.
Sepulang dari rumah Mbah Sabdo, Dika mengantarkan Putri pulang dan berniat untu berbicara serius dengan orang tua Putri. Dika tidak sendiri, dia juga bersama bapak ibunya yang sudah menunggu di rumah Putri.
Sesampainya di sana ternyata keluarga besar Putri sudah berkumpul.
“Pak, Buk saya sangat mencintai Putri, tolong izinkan kami menikah”, ujar Dika dengan tegas.
“Sudah saya bilang, weton kalian tidak cocok. Hitungan weton bukan hal yang sepele”, jawab Ayah Putri dengan lantang.
“Tapi apakah kita akan mengorbankan cinta mereka berdua demi percaya dengan hitungan weton itu”, ujar Ayah Dika tak kalah lantang.
Suasana seketika tegang. Dika dan Putri hanya saling padang dan tidak berani mengeluarkan sepatah kata karena suasana sudah sangat panas.
“Bolehkah aku bicara?”, suara lembut dan tegas terdengar, ia adalah Nenek Putri yang selama ini diam mendengarkan perdebatan mereka.
Semua mata tertuju ke Nenek Putri, beliau adalah orang tertua di keluarga.
“Weton memang tradisi dan budaya kita, tapi dengan itu bukan berati kita bisa memisahkan cinta mereka. Mereka sudah pacaran 5 tahun dan sudah sama-sama dewasa, pasti bisa melawan badai dalam rumah tangga mereka,” kata Nenek Putri dengan santai namun tegas.
Ucapan Nenek putri seolah memberikan titik terang untuk hubungan Dika dan Putri. Ayah Putri akhirnya mengalah dan memberikan izin untuk Dika dan Putri menikah