
Oleh : Tri Nadya Septiyaningrum
Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sindoro, tinggalah seorang anak bernama Bana. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, Bana sudah bersiap dengan seragam sekolah yang mulai memudar warnanya. Ia menempuh perjalanan sejauh 5 kilometer dengan berjalan kaki, melewati jalan setapak dan menyeberangi sungai kecil, demi mencapai sekolah dasar satu-satunya di desanya.
Ayah Bana bekerja sebagai buruh tani, sementara ibunya mengurus rumah dan adik-adiknya. Meski penghasilan keluarga pas-pasan, semangat Bana untuk belajar tak pernah surut. Ia percaya bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan yang melilit keluarganya.
Suatu hari, sekolah Bana mengadakan lomba menulis esai tentang cita-cita. Dengan penuh semangat, Bana menulis tentang keinginannya menjadi guru, agar bisa mengajar anak-anak di desanya yang kurang mendapatkan pendidikan layak. Tulisannya sederhana, namun penuh ketulusan.
Beberapa minggu kemudian, pengumuman pemenang lomba disampaikan. Bana terkejut saat namanya disebut sebagai pemenang pertama. Hadiahnya adalah beasiswa untuk melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Air mata haru mengalir di pipi Bana dan kedua orang tuanya.
Sejak saat itu, Bana semakin giat belajar. Ia tahu, jalan di depannya masih panjang dan penuh tantangan. Namun, dengan tekad dan semangat yang membara, ia yakin bisa meraih cita-citanya dan membawa perubahan bagi desanya.