
Oleh : Deby Arum Sari
Di sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung Slamet, hiduplah seorang remaja bernama Wira. Ia dikenal pendiam, tak banyak bicara, dan lebih suka berjalan kaki ke mana pun. Setiap hari, Wira melangkah sejauh tiga ribu langkah untuk pergi dan pulang dari sekolah. Tak naik sepeda, apalagi motor, meski jaraknya cukup jauh.
“Kenapa nggak minta dibelikan motor, Ra?” tanya Toni, sahabatnya, suatu ketika.
Wira hanya tersenyum. “Aku suka jalan kaki. Banyak yang bisa dilihat. Banyak yang bisa dipikirkan.”
Jawaban itu selalu sama, dan Toni tak pernah lagi bertanya. Tapi desa itu mulai bertanya-tanya. Anak seusia Wira biasanya ingin cepat-cepat dewasa, ingin keren, ingin bergaya. Tapi Wira tetap seperti itu: sederhana, membawa tas lusuh, dan selalu berjalan di pagi hari sebelum fajar menyingsing.
Hingga suatu hari, berita datang ke desa. Ibu Wira jatuh sakit. Parah. Warga baru tahu ternyata Wira hanya tinggal bersama ibunya yang sudah lama mengidap penyakit jantung. Ayahnya sudah meninggal sejak Wira kecil, dan sejak itulah Wira belajar mandiri.
“Biaya rumah sakitnya mahal, Ra,” kata Bu Lestari, tetangga sebelah, saat menjenguk. “Apa kamu punya simpanan?”
Wira menggeleng. Tapi ia tak menyerah. Ia mulai bekerja selepas sekolah. Kadang jadi buruh angkut di pasar, kadang membantu petani di sawah, kadang membersihkan masjid. Ia tak pernah pilih-pilih. Yang penting halal.
Suatu malam, di depan rumahnya, ia duduk bersama ibunya yang lemah di kursi roda.
“Ra,” ujar ibunya pelan. “Ibu minta maaf… Ibu nggak bisa kasih kamu banyak.”
Wira menggenggam tangan ibunya. “Ibu udah ngasih aku segalanya. Doa Ibu cukup.”
Air mata menetes dari sudut mata perempuan renta itu. Tapi Wira tak menangis. Ia sudah terlalu sering menahan tangis.
Beberapa hari kemudian, sebuah pengumuman ditempel di papan desa: Lomba Lari Antar-Desa akan digelar dalam waktu dua minggu. Hadiahnya cukup besar — lima juta rupiah. Jumlah yang bisa menutup biaya awal pengobatan ibunya.
Toni langsung membawa pengumuman itu ke Wira. “Ini kesempatanmu, Ra!”
Wira membaca lembaran itu perlahan. “Aku jalan kaki, bukan pelari.”
“Tapi kamu terbiasa menempuh jarak jauh. Kamu bisa latih diri. Ini buat Ibumu!”
Dan sejak hari itu, Wira mulai berlari. Saat pagi sebelum sekolah, dan malam setelah mengaji. Ia mengukur langkahnya, mempercepat ritmenya. Ia jatuh, terluka, tapi bangkit lagi. Ia tak punya sepatu lari — hanya sepatu kain yang sudah pudar warnanya. Tapi semangatnya menyala.
Warga desa mulai memperhatikannya. Beberapa memberi semangat, ada juga yang mencibir. Tapi Wira tak peduli. Ia hanya ingin melihat ibunya sembuh. Dan uang itu adalah harapan.
Hari perlombaan tiba. Wira datang paling awal. Ia membawa bekal air dalam botol bekas dan memakai kaus putih biasa. Di antara para peserta yang mengenakan pakaian olahraga, Wira tampak paling sederhana. Tapi tatapannya tajam. Fokus.
“Siapa anak itu?” tanya peserta dari desa sebelah.
“Anak jalan kaki, katanya,” jawab yang lain sambil tertawa. “Jalan kaki mau ikut lari.”
Toni yang ikut menonton mendengar semua itu. Tapi ia tahu siapa Wira sebenarnya. Ia tahu bahwa setiap langkah Wira membawa doa, harapan, dan pengorbanan.
Peluit ditiup. Para peserta melesat. Wira berlari dengan irama yang ia kenal: irama langkah kaki sehari-harinya. Ia tidak tergesa-gesa, tidak juga lambat. Ia menjaga napas, seperti saat berjalan dari rumah ke sekolah.
Satu per satu peserta mulai kelelahan. Beberapa berhenti di tengah jalan. Tapi Wira terus melaju. Kakinya memar, napasnya tersengal, tapi matanya tak pernah berpaling dari garis akhir.
Dan ketika garis itu semakin dekat, ia melihat bayangan ibunya. Tersenyum, berdiri, memanggil namanya.
Ia berlari lebih cepat. Tak peduli lagi pada rasa sakit. Tak peduli pada suara sorak. Ia hanya ingin sampai.
Dan ia sampai. Pertama.
Teriakan meledak dari para penonton. Warga desa bersorak, memanggil namanya. Wira terjatuh di tanah, lelah, tapi menang. Toni berlari menghampirinya dan memeluknya erat.
“Kamu juara, Ra! Kamu menang!”
Air mata yang selama ini ditahan akhirnya jatuh.
Hari itu, Wira membawa pulang bukan hanya hadiah lima juta, tapi juga penghormatan dari seluruh desa. Ia tak lagi disebut “anak jalan kaki.” Ia adalah Wira — pemuda yang berjalan dengan hati, berlari dengan tekad, dan menang dengan perjuangan.
Dan yang paling penting: ibunya mendapat perawatan.
Beberapa bulan kemudian, kondisi ibunya membaik. Ia bisa berjalan pelan, dan kadang duduk di teras rumah, menyapa tetangga. Sementara Wira tetap seperti dulu: berjalan ke sekolah, membawa tas sederhana. Tapi sekarang ia selalu ditemani senyum dari orang-orang yang dulu tak memperhatikannya.
Tiga ribu langkah itu telah mengubah segalanya.