
Oleh : Tri Nadya Septiyaningrum
Di kaki Gunung Sumbing, sebuah desa bernama Tanggulanom menyimpan sebuah tradisi yang tak lekang oleh waktu yaitu kesenian Topeng Ireng sekar Anom. Setiap menjelang bulan Suro, warga desa berbondong-bondong mempersiapkan sebuah pertunjukan besar yang menjadi kebanggaan mereka turun-temurun. Tarian yang memadukan gerak silat, ritual mistis, dan musik gamelan ini bukan sekadar hiburan ia adalah warisan leluhur yang menghidupkan kembali kisah-kisah masa lalu.
Raka, seorang pemuda yang sejak kecil sudah akrab dengan dentingan gamelan dan gemuruh hentakan kaki para penari. Ayahnya, Mbah Kromo, adalah dalang sekaligus ketua sanggar Topeng Ireng tertua di desa itu. Namun, berbeda dengan pemuda lain yang bersemangat meneruskan tradisi, Raka justru merasa enggan. Ia lebih tertarik pada dunia digital, menghabiskan waktu dengan gawai ketimbang melatih gerak tarian atau belajar memainkan alat musik tradisional.
Suatu hari, kabar duka datang: Mbah Kromo jatuh sakit. Tubuh renta itu lemah, tetapi tekadnya tetap kuat. Di ranjang perawatan, Mbah Kromo memanggil Raka.
“Rak, tahun ini… kamu yang harus pimpin pertunjukan Topeng Ireng. Kalau tidak, leluhur kita akan kecewa.”
Raka terdiam. Ia memandang mata ayahnya yang mulai berkaca-kaca, lalu melihat ke arah almari kayu tua yang menyimpan topeng-topeng berwarna hitam legam dengan bulu-bulu menjuntai panjang. Topeng-topeng itu tampak seperti memandang balik, seolah menyimpan harapan yang besar.
Awalnya Raka menolak. Tapi malam itu, ia bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ia melihat sebuah arena pertunjukan yang luas, dikelilingi kabut putih. Dari balik kabut, muncullah sosok-sosok penari dengan topeng ireng yang bergerak lincah dan gagah. Salah satu dari mereka mendekat dan membuka topengnya—wajah itu adalah Mbah Kromo, muda dan penuh wibawa.
“Warisan ini bukan hanya seni, Raka,” suara itu bergema. “Ini adalah jembatan antara kita dan roh leluhur. Jangan biarkan ia mati.”
Raka terbangun dengan keringat dingin. Keesokan harinya, tanpa banyak bicara, ia datang ke sanggar dan mulai berlatih. Hari demi hari, ia mempelajari gerakan dasar, memahami filosofi di balik setiap hentakan kaki, setiap ayunan tangan. Ia juga mempelajari makna warna-warni kostum: hitam sebagai lambang keagungan dan keteguhan hati, merah sebagai keberanian, dan hijau sebagai kemakmuran.
Latihan yang berat itu mengubah Raka perlahan. Ia mulai merasakan ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya sebuah kekuatan yang sulit dijelaskan, seolah ia benar-benar menyatu dengan leluhurnya. Teman-teman yang dulu mengejeknya mulai terpukau melihat kesungguhannya.
Puncaknya adalah malam pertunjukan di desa tanggulanom. Ribuan mata memandang ke panggung. Raka, dengan topeng ireng yang megah dan kostum warna-warni, memimpin puluhan penari lain. Musik gamelan menggema, dan gerakan-gerakan tarian yang gagah memecah keheningan malam. Api unggun yang menyala di tengah area membuat bayangan para penari menari-nari di dinding-dinding rumah sekitar.
Ketika tarian mencapai klimaks, Raka merasakan sesuatu yang tak pernah ia alami sebelumnya, sebuah aliran hangat dari tanah ke seluruh tubuhnya, seolah ia menjadi medium hidup bagi para leluhur. Air matanya menetes di balik topeng, bukan karena lelah, tapi karena haru.
Setelah pertunjukan usai, warga desa berdiri dan bertepuk tangan panjang. Di kejauhan, Raka melihat Mbah Kromo duduk di kursi roda, tersenyum lemah tetapi penuh bangga.
Sejak malam itu, Raka tak lagi memandang kesenian Topeng Ireng sebagai beban. Ia tahu kini bahwa tradisi ini adalah nafas desa mereka, perekat yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.Di bawah bintang-bintang yang berkelip di langit Temanggung, Raka berjanji dalam hati: selama ia hidup, topeng-topeng itu tak akan pernah dibiarkan berdebu di sudut almari.