Topeng Warisan Pak Karta

Oleh: Zahra Agid Tsabitah

Di lereng Gunung Sumbing, di sebuah desa kecil yang sejuk dan sunyi, hiduplah seorang pemuda bernama Danu. Ia dikenal sebagai anak yang pendiam, lebih suka memperbaiki alat pertanian daripada ikut pentas kesenian desa. Ayahnya, Pak Karta, adalah seorang penari topeng ireng legendaris yang telah puluhan tahun membina sanggar tari “Sinar Merapi”.

Sanggar itu kini sepi, hanya sesekali dipakai untuk menyimpan topeng-topeng tua dan kostum tari yang warnanya mulai pudar. Danu tidak pernah tertarik untuk meneruskan jejak ayahnya. Baginya, kesenian itu masa lalu; masa depan adalah kerja, gawai, dan kota.

Namun, semuanya berubah pada malam “Merti Desa”, saat warga desa mengadakan upacara syukuran panen. Sebagai tradisi, malam itu selalu ditutup dengan pertunjukan tari topeng ireng. Namun tahun ini, sanggar tidak punya penari. Anak-anak muda lebih memilih bermain ponsel, dan para penari lama sudah merantau.

Pak Karta memandangi topeng-topeng usangnya. “Tak ada yang mau menari lagi, Nu,” katanya pelan, mengusap topeng berwarna merah menyala.

Danu mengangguk tanpa menjawab. Tapi malam itu ia tidak bisa tidur. Bayangan ayahnya yang duduk sendiri di sanggar menghantui pikirannya. Ia pun terbangun, menyalakan lampu sanggar, dan membuka peti tua berisi topeng-topeng itu.

Satu topeng menarik perhatiannya—topeng kepala macan, dengan bulu dan warna yang masih tajam meski usianya tua. Ketika ia mengenakannya di depan cermin, ada getaran aneh dalam dadanya. Seolah ia sedang melihat sosok ayahnya muda di sana.

Hari berikutnya, Danu diam-diam berlatih. Ia menonton video-video pertunjukan ayahnya, mencatat gerakan demi gerakan, dan mencoba menirunya. Kakinya kaku, gerakannya tak luwes. Tapi ada api kecil yang menyala. Api yang selama ini ia abaikan: warisan darah seni dari ayahnya.

Seminggu menjelang Merti Desa, Danu menyampaikan niatnya. Pak Karta terdiam lama. “Kamu yakin?”

Danu mengangguk. “Untuk Bapak. Untuk desa.”

Malam Merti Desa pun tiba. Panggung bambu sederhana diterangi obor-obor kelapa. Saat Danu naik ke panggung dengan topeng macan, penonton sunyi. Mereka tak menyangka. Tapi begitu musik mulai dimainkan, dan kakinya menghentak tanah dalam irama yang tegap, sorak-sorai pun pecah.

Pak Karta berdiri di antara penonton, matanya berkaca. Malam itu, di bawah langit pegunungan yang bersih, semangat budaya yang hampir padam menyala kembali—dalam tarian, dalam warisan, dalam cinta seorang anak kepada leluhurnya.

Exit mobile version