Temanggungan

Tradisi Nyadran di Dusun Pete, Sembelih Puluhan Ekor Kambing Tiap Dua Tahun

Oleh: Riska Meliyana

Nyadran atau sadranan merupakan salah satu tradisi turun temurun yang masih dilestarikan di Temanggung. Tradisi ini merupakan bentuk peringatan dan penghormatan kepada leluhur yang telah meninggal dunia. Biasanya, sadranan dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon di bulan Ruwah dalam kalender Jawa. Untuk bentuk pelaksanaan dan acaranya sendiri, setiap daerah memiliki cara dan aturan masing-masing dalam menyelenggarakan tradisi ini, termasuk di Dusun Pete, Desa Kembangsari, Kec. Kandangan, Kab. Temanggung.

Di Dusun Pete, tradisi Sadranan memiliki beberapa perbedaan dalam pelaksanaannya. Dusun ini mengadakan dua jenis sadranan yang diselenggarakan pada waktu berbeda. Sadranan pertama diadakan setiap tahun dengan rangkaian acara yang serupa dengan tradisi sadranan pada umumnya. Sementara itu, sadranan kedua, yang khas dengan penyembelihan puluhan ekor kambing dilaksanakan di makam Kyai Kramat di dusun tersebut setiap dua tahun sekali.

Tradisi sadranan Kyai Kramat yang digelar setiap dua tahun sekali ini diadakan sebagai bentuk rasa syukur warga setempat dan para peziarah yang rutin mengunjungi makam tersebut. Peziarah makam Kyai Kramat memiliki tradisi bernazar untuk menyumbangkan kambing jika doa mereka terkabul. Nazar ini diwujudkan pada acara Sadranan Kyai Kramat yang digelar setiap dua tahun sekali. Para peziarah yang telah bernazar, membawa kambing ke acara tersebut sebagai bentuk rasa syukur mereka. Selain dari peziarah, beberapa warga setempat juga ada yang turut bernadzar dan menyumbangkan kambing. Gabungan dari sumbangan ini biasanya menghasilkan puluhan kambing yang kemudian disembelih dan di masak di area makam, untuk kemudian dibagikan kepada siapa saja yang hadir di sana, baik warga setempat maupun pendatang.

Selain penyembelihan puluhan kambing yang menjadi ciri khas dan membedakan tradisi sadranan ini dari sadranan pada umumnya, kegiatan lainnya tetap dilaksanakan seperti biasa. Tradisi diawali dengan membersihkan area pemakaman dan lingkungan sekitarnya. Kemudian, pada hari pelaksanaan, masyarakat membawa berbagai makanan yang ditempatkan dalam wadah seperti tenong, ceting (wadah yang terbuat dari anyaman bambu), ataupun rantang. Makanan-makanan tersebut biasanya dibawa dengan cara dipikul. Jenis makanan yang dibawa pun beragam, seperti nasi bucu atau yang biasa disebut nasi tumpeng, ingkung atau ayam utuh, dan hidangan-hidangan lain seperti sayuran, kue, hingga buah-buahan.

Pada hari pelaksanaan, rangkaian acara dari tradisi ini biasanya dimulai dengan sambutan dari kepala desa, dilanjutkan dengan pembacaan tahlil bersama, doa yang dipimpin oleh tokoh agama, dan diakhiri dengan acara makan bersama. Warga biasanya duduk berjejer dan menikmati hidangan yang disajikan di atas daun pisang yang mereka bawa dari rumah. Mereka yang hadir juga seringkali saling bertukar makanan dan berbagi pada siapa saja yang datang. Selain itu, terkadang juga warga setempat mengadakan pagelaran wayang kulit sebagai puncak acara di malam harinya untuk memeriahkan tradisi tersebut.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button