Oleh : Khansa Aisyatul Nabilla
Desa Sukarukun terkenal dengan dua hal yaitu jalanan berbatu yang bisa bikin gigi copot, dan warganya yang semangat lomba tujuhbelasan seperti ikut Piala Dunia. Tiap tahun, persaingan antar-RT untuk lomba tumpeng selalu panas. Bahkan lebih panas dari sambal Bu Jum.
Tahun ini, RT 03 bersumpah akan menang. Tahun lalu mereka kalah karena tumpeng RT 01 dihias seperti burung garuda, sementara tumpeng mereka mirip gunung longsor.
“Sekarang kita gak boleh setengah-setengah!” ujar Pak RT dengan gaya seperti motivator. “Kita serahkan urusan dapur ke ahlinya — Bu Jum!”
Bu Jum tersenyum penuh percaya diri. Ia dikenal sebagai ratu dapur. Sayangnya, ia juga dikenal sebagai pengguna micin garis keras. Motto hidupnya: “Kalau belum kesemutan lidahnya, berarti bumbunya kurang.”
Dua hari sebelum lomba, dapur pos ronda disulap jadi markas besar. Warga RT 03 berkumpul lengkap. Ada Ibu-ibu, Bapak-bapak, bahkan anak-anak ikut mengupas bawang dengan mata berair seperti habis putus cinta.
“Bu Jum, ini bumbunya udah, tinggal dicampur,” kata Bu Sarti sambil menyerahkan baskom.
Bu Jum menatap baskom itu, lalu mengeluarkan satu kantong plastik besar berisi… micin.
“Ini dia jantung rasa!” serunya dramatis.
“Bu, itu banyak banget…” bisik Pak RT yang mulai khawatir.
“Tenang, Pak. Ini micin ramuan spesial. Dicampur sama sedikit bubuk cabai, penyedap Korea, dan… serbuk kari India,” kata Bu Jum dengan mata berbinar. “Globalisasi, Pak!”
Semua mengangguk walau tak sepenuhnya mengerti.
Tumpeng RT 03 jadi paling mencolok di antara semua peserta. Nasinya kuning menyala seperti sinar matahari, ayam gorengnya mengkilat, dan sambalnya… merah menyala seperti sirine ambulans.
Acara dimulai. Satu per satu juri mencicipi. Juri pertama dari RT 01, Pak Diran, baru saja menyuap tumpeng RT 03, langsung matanya membelalak.
“Euh… ini… rasa yang… unik!” katanya sambil menyeka keringat yang tiba-tiba mengucur deras.
Juri kedua, Bu Lastri dari RT 05, sempat berkata, “Saya mencium aroma… India dan Korea bersatu di dalam mulut saya!”
Sementara juri ketiga, seorang mahasiswa KKN, langsung berdiri, minum lima gelas air, dan berkata, “Saya kayaknya… bisa nulis skripsi 3 bab sekaligus sekarang. Otak saya melek banget!”
Warga RT 03 bersorak. Bu Jum mengangkat ulekan besar seperti piala.
Namun, lima menit kemudian, ketiga juri diam-diam ke belakang balai desa… dan antre ke toilet darurat. Wajah mereka penuh penyesalan dan perut yang berbunyi aneh.
“Perut saya kayak konser metal, Pak,” bisik juri ketiga.
Meski begitu, saat pengumuman, RT 03 tetap diumumkan sebagai pemenang. Alasannya?
“Tumpeng paling… membekas di ingatan,” kata Pak Lurah sambil menahan tawa.
Bu Jum loncat kegirangan, memeluk ulekan, dan berteriak, “Micin bersatu tak bisa dikalahkan!”
Sejak itu, setiap lomba tumpeng di desa Sukarukun diberi peraturan baru
“Dilarang menggunakan micin lebih dari dua sendok makan per RT.”
Dan warga RT 03? Mereka tetap bangga. Karena meski menangnya agak ‘menyiksa’. “Yang penting juara, walau juri trauma!”