CerpenSastra

Tulang Punggung Keluarga

Oleh: Laras Novita Ardani

Namaku Zevannya Faresta, perempuan yang baru berusia 21 tahun namun sudah menjadi tulang punggung keluarga. Di usia yang masih muda ini aku harus bekerja menjadi buruh pabrik demi mencukupi kebutuhan keluarga. Ayahku memang masih muda, tapi ayah memiliki sakit jantung dan sering keluar masuk rumah sakit, sehingga tidak memungkinkan untuk bekerja. Ibuku hanyalah seorang buruh di pasar dan penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari, ibu sering sekali memarahi aku karena uang yang aku berikan tidak cukup untuk kehidupan mereka. Aku memiliki dua orang adik yang masih sekolah semua, adik yang pertama kelas 2 SMP dan adiku yang terakhir kelas 5 SD.
Dua tahun bekerja di kota orang, satu kalipun aku belum pernah pulang ke rumah. Bukannya aku tidak mau pulang ke rumah meskipun hanya sekadar untuk menjenguk keluarga di rumah, namun tidak ada biaya untuk pulang. Hari raya idul fitri kian dekat, ingin rasanya aku pulang ke rumah untuk merayakan idul fitri bersama keluarga.

Tiga hari yang lalu aku sudah berbicara dengan ibu lewat telfon, namun ibu tidak memperbolehkan aku pulang di hari raya dengan alasan uang yang dipakai untuk pulang lebih baik untuk membelikan adik-adiku baju baru.
Hari ini hari terakhir puasa dan pabrik sudah mulai libur, aku bangun pukul 3 pagi untuk sahur.

Aku tinggal berdua di kontrakan bersama temanku yang bernama Paramita Maheswari, aku dan Mita mempunyai nasib yang sama yaitu menjadi tulang punggung keluarga.
Zeva: “Hari ini mau masak apa ta? “
Mita: “Goreng telur aja Zev, biar irit”
Zeva: “Yaudah, aku goreng telur dulu ya Mit kamu bikin sambal dulu”
Mita: “Siap!, eh Zev kita selama bulan puasa ini makan telur sama mie terus, ya walapun kadang-kadang makan sayur juga sih. Kamu bosen ga sih Zev”
Zeva: “Ya bosen lah, tapi mau gimana lagi kita kan harus irit. Kamu juga kan tadi bilang biar irit”
Mita: “Iya sih” (jawab Mita dengan raut wajah yang sedih).

Setelah telur dan sambal matang, Zeva dan Mita makan bersama-sama.
Mita: “Kamu beneran Zev ga pulang lagi lebaran tahun ini, kan lebaran kemarin kamu tidak pulang.”
Zeva: “Sepertinya tidak Mit, aku tidak boleh pulang sama ibu”
Mita: “Lah, kenapa Zev bukannya orang tua selalu mengharapkan anaknya pulang di hari raya ya?”
Zeva: “Biasalah Mit, sayang uang katanya. Kalau kamu kok ga pulang Mit”
Mita: “Aku juga tidak boleh pulang Zev, nasib kita kan sama”
Zeva: “Nasib kita kok begini ya Mit, merelakan masa muda demi mencukupi kehidupan keluarga” (ujar Ziva dengan mata memerah menahan air mata)
Mita: “Ya mau gimana lagi Zev sudah nasib kita, udah cepat makan keburu imsak” (ucap Mita sambil mengambil telur yang masih ada di atas wajan)
Setelah selasai sahur dan sholat subuh, Zeva dan Mita kembali tidur. Mereka kembali bangun setelah mendengar adzan dzuhur, setelah itu Zeva berencana untuk menelfon orang tuanya.

Zeva sangat berharap orang tuanya mengizinkan dirinya pulang, meskipun nanti malam sudah takbiran. Zeva tidak masalah jika dia harus menghabiskan malam takbiran di perjalanan.
Setelah sholat Zeva bergegas mengambil gawai yang ia simpan di atas meja, dalam hati Zeva berdoa semoga ibunya berubah pikiran.
Zeva: “Assalamualaikum Bu”
Ibu Zeva: “Waalaikumsalam ada apa Zev nelfon ibu, baru 3 hari yang lalu kamu nelfon ibu”(jawab ibu Zeva dengan suara ketus)
Zeva: “Bu Zeva mau pulang, Zeva rindu ibu dan ayah, Zeva juga rindu sama adik-adik Zeva. Tolong izinkan Zeva pulang bu, lebaran kemarin Zeva sudah tidak pulang bu. Zeva ingin lebaran bersama keluarga layaknya orang-orang di luar sana” (jawab Zeva sembari
menangis)
Ibu Zeva: “Tidak usah! Ibu bilang tidak ya tidak. Ngabisin uang saja!”
Zeva: “Bu, Zeva punya uang tabungan. Uang itu cukup untuk biaya pulang Zeva bu dan masih cukup buat Zeva kembali ke sini bu”

Ibu Zeva: “Mending uang tabunganmu itu kamu kasih ke adikmu buat beli baju lebaran, kalau misal uangmu banyak kan ibu sama bapak juga bisa membeli baju baru”
Zeva: “Zeva mau nanya bu, apa ibu tidak kangen Zeva?”
Ibu Zeva: “Tentu kangen, tapi ya mau gimana lagi ibu lebih mengharapkan uang kamu daripada kamu. Lagipula di sini ada dua adik-adikmu yang lebih pintar dan cantik daripada
kamu. Ibu bangga sama kedua adik-adikmu”
Zeva: “Ibu kok tega bicara seperti itu sama aku. Aku sudah merelakan masa muda ku untuk membantu perekonomian keluarga, gaji aku pun lebih banyak digunakan untuk kebutuhan keluarga daripada kebutuhan aku sendiri. Aku tidak pernah beli baju baru, aku tidak pernah jajan di luar seperti anak muda yang lain. Jangankan untuk memenuhi gaya buat makan aja
aku susah bu, setiap hari makan telur, mie dan sayur saja. Semua itu aku lakukan agar keluarga kita tidak kekurangan bu” (jawab Zeva dengan suara tinggi)
Ibu Zeva: :”Halah kamu tu, membantu keluarga sendiri saja seperti tidak ikhlas”
Zeva: “Bukan begitu bu, tapi Zeva capek bu”
Ibu Zeva: “Itu resikomu menjadi anak pertama dan tulang punggung keluarga” (bentak ibu Zeva sambil mematikan telfon)

Setelah selesai berbicara dengan ibu lewat telfon, Zeva hanya terisak mendengar semua ucapan ibunya.
Takbir berkumandang, tanda bahwa idul fitri telah tiba. Semua umat muslim merayakan malam takbiran dengan bahagia, semua orang merayakan dengan keluarga tercinta. Namun, tidak dengan Zeva yang sedari tadi hanya melamun di depan jendela kamar kontrakannya. Zeva terus menangisi nasib hidupnya, mengapa ia ditakdirkan menjadi tulang punggung keluarga dan
tidak mendapatkan kasih sayang sedikitpun dari orang tuannya. Zeva terus bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apakah ia akan terus bernasib seperti ini

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button