
Oleh: Cholifia Nurchaliza
Anindhita Syahiral, sering disapa Anin. Anin adalah seorang pegawai kantoran yang menempati poisi sebagai manager. Anin sering dibilang wanita yang sangat mengejar karier karena dengan prinsipnya kalau bisa diatas mengapa dibawah. Saat ini Anin telah menginjak umur 32 tahun. Namun, sama sekali belum terpikirkan bahkan keinginan untuk menikah. Pacar pun Anin tidak punya dan tidak peduli. Anin sudah merantau di Jakarta delapan tahun lamanya mulai dari dia lulus kuliah. Asal tempat tinggal anin di Purwodadi Jawa Tengah. Selain menjadi seorang manager, kehidupan Anin dihabiskan untuk bersenang-senang bagaikan tanpa memiliki beban hidup. Menurut Anin mengapa terburu-buru menikah jika keinginan dari diri sendiri pun belum terpikirkan.
Tetapi disisi itu, Anin menanggung beban yang sangat amat berisik baginya. Dimana setiap harinya dia ditanya oleh kedua orang tuanya untuk segera menikah. Hal itu sangat membuat Anin kesal bagaikan dikejar-kejar hutang. Jika belum dilunasi maka akan semakin ditagih hari demi hari tak kenal siang atau malam. Bukan tidak lain apa alasan Anin belum menikah, melainkan dia terlalu selektif dalam hal memilih laki-laki. Justru malah setiap harinya ada saja yang mengajak dia makan, jalan, nonton, bahkan menikah pun ada. Itu semua tidak ada satupun yang di lirik oleh Anin. Dia sangat amat acuh dengan semua laki-laki itu. Dia lebih memilih fokus menjadi wanita karier dan menunggu jodoh yang sesuai menurutnya datang dengan sendirinya tanpa terburu-buru. Sejatinya menikah juga bukan perlombaan melainkan berkomitmen satu sama lain dan saling memiliki tujuan yang sama.
Di kantor, Anin digambarkan sebagai primadona yang begitu sempurna. Anin sangat Istimewa dan disukai banyak orang. Tidak pernah gagal dalam hal penampilan dengan wajah dan kulit putihya yang sangat di idam-idamkan oleh semua laki-laki. Setiap harinya selalu ada barang di mejanya entah itu cokelat, bunga, makanan, bahkan barang-barang branded dari teman kantornya yang suka dengan Anin. Semua barang yang dia temukan di mejanya selalu dikasih kepada teman wanita kantornya atau orang yang menginginkan barang itu. Menurut Anin itu bukan barang dari orang yang special baginya, Dia juga bisa membelinya sendiri bahkan lebih dari itu.
Suatu hari, Anin dibangunkan oleh dering telepon disamping tempat tidurnya yang berdering berkali-kali. Dengan mata yang masih terpejam, badan yang masih lemas Anin mengangkatnya.
Ibu : “Hallo nduk, gimana apa kamu sudah mempunyai pacar untuk dikenalkan ibu
dan bapak?”
Anin : “Hallo bu, bu Anin lagi dikantor banyak kerjaan nanti Anin kabari lagi ya.”
Ibu : “Ibu hanya ingin melihat kamu menikah nduk, sebelum ibu pergi, ibu kan sudah
tua. Kamu juga anak satu-satunya ibu dan bapak siapa lagi yang harus kami
harapkan.”
Anin : “Iya bu, Anin paham dan mengerti disini Anin juga berproses.”
Anin memang sangat memilih dalam hal pasangannya. Tetapi mau tidak mau dia tetap harus mewujudkan kemauan orang tuanya untuk menikah. Karena bagaimanapun dia yang diharapkan di keluarganya. Di hari itu juga, tiba-tiba Anin mendapat telepon dari direktur kantornya untuk segera berangkat ke kantor karena ada hal penting ingin disampaikannya. Dengan kecepatan yang semaksimal mungkin Anin bersiap-siap dan menuju kantor.
Anin : “Selamat siang pak, ada yang ingin dibicarakan?”
Direktur : “Jadi gini, untuk sementara saya akan cuti dari kantor ini dan beliau yang
yang akan menggantikan saya, namanya pak Rio.”
Rio : “Hallo salam kenal saya Rio”
Anin : “Salam kenal pak Rio bisa panggil saya Anin jika membutuhkan bantuan
dikantor ini.”
Pandangan pertama, ya Anin merasa itu jatuh cinta pada pandangan pertama. Mulai dari gaya bicaranya, wajahnya, penampilannya, jabatannya, bahkan wanginya telah membuat Anin dimabuk cinta. Nanti malam adalah malam minggu, malam yang serig disebut sebagai malam jahat untuk para jomblo. Tapi tidak untuk Anin, malam ini dia berniat untuk lembur menyelesaikan pekerjaan dikantor dengan alasan agar bisa memandang lebih lama pak Rio.
Rio : “Loh Anin, kamu nggak pulang?”
Anin : “Emm enggak pak hari ini saya lebur dikantor saja.”
Rio : “Baguslah saya jadi nggak sendiri malam ini, kamu mau kopi nggak saya
buatin sekalian?”
Anin : “Tidak usah pak terimakasih, nanti saya buat sendiri saja.”
Berawal dari malam itu kedekatan Anin dan Rio berlanjut. Mereka sering menghabiskan waktu berdua. Berjalan-jalan, menonton, dan makan. Bahkan mereka sudah resmi pacaran jalan dua bulan. Mereka berniat untuk menganalkan ke orang tua masing-masing. Menurut Anin mungkin ini pasangan yang tepat untuk dijadikan suami agar orang tuanya bahagia. Anin sudah sangat cocok dengan Rio, hanya saja keduanya menunggu waktu yang tepat untuk bertemu dengan orang tua satu sama lain.
Ibu : “Assalamuailaikum nduk, ibu pengen bicara serius bapak sakit nduk apa kamu
Bisa pulang?”
Anin : “Wa’alaikumsalam bu, bapak sakit apa? Minngu depan Anin pulang ya bu.”
Ibu : “Jantungnya kumat nduk, iya sekalian ibu mau ngenalin kamu sama laki-laki
pilihan bapak, sebelum bapak sakit beliau sudah menjodohkan kamu dengan
anak sahabat lamanya.”
Anin : “Apa? dijodohkan bu, kenapa nggak ngomong sama Anin dulu bu.”
Seperti hujan yang deras bagaikan kiamat tanpa tanda, air mata anin berjatuhan mendengar dia akan dijodohkan. Sedangkan dia sangat mencintai Rio. Dia bingung bagaimana dia mengatakan semuanya kepada Rio. Dan bagaimana jika jodoh pilihan orang tuanya tidak sesuai dengan kriterianya. Semua yang dilakukan Anin untuk mencari pasangan yang sesuai sia-sia, karena dia tau watak bapaknya yang keras. Otomatis dia harus mengikuti kemauan bapak dan ibunya.
Satu minggu berlalu, dimana Anin harus pulang ke rumah untuk menemui keluarga laki-laki yang akan dijodohkannya. Di sisi lain Anin sangat merasa bersalah kepada Rio, karena belum berani mengatakan semuanya. Sesampainya di rumahnya betapa kagetnya Anin melihat Rio berada di rumahnya. Apa mungkin laki-laki yang akan dijodohkan adalah Rio, pikir Anin.
Anin : “Rio, kamu ngapain disini?”
Rio : “Kamu yang ngapain, aku lagi mengantarkan kakakku untuk calon istrinya.”
Anin : “Ini rumah dan keluargaku, tunggu…jadi kakak kamu?”
Ibu Rio : “Lohh jadi kalian saling kenal?”
Rio : “Kita ini pacaran!!!”
Seketika suasana dalam rumah itu menjadi kisruh dan penuh perdebatan. Mulai dari Anin dan Rio yang menolak secara mentah-mentah perjodohan itu. Akan tetapi ibu Rio sangat bersikeras ingin menjodohkan Ali kakak Rio dengan Anin. Karena semua sudah direncanakan matang-matang oleh orang tua Anin dan orang Tua Rio bagaimana mungkin dibatalkan begitu saja, sedangkan undangan udah tersebar di mana-mana.
Rio : “Tolong lah ma, aku sama Anin saling cinta, gamungkin pacar aku Anin menikah
degan mas Ali.”
Ali : “Kalau dibatalkan aku tidak apa-apa, mungkin bisa pernikahan itu tetap
berlangsung, tetapi mempelai prianya Rio saja.”
Ibu Rio : “Tidak bisa! keluarga kita harus nikah mulai dari yang paling tua dahulu, kamu
dulu Ali. Mungkin gini saja pernikahan Ali dan Anin akan dibatalkan apabila
Ali mendapatkan calon istri sebelum hari-h pernikahan.”
Rio, Anin, dan Ali pun mengiyakan persyaratan itu. Hari demi hari mereka bertiga sibuk dengan mengusahakan persyaratan itu. Semua cara sudah dilakukan untuk mencari wanita pengganti Anin untuk dinikahinya. Tetapi tepat satu hari sebelum hari-h mereka tidak berhasil menemukannya. Mau tidak mau Ali dan Anin harus melangsungkan pernikahan tanpa persetujuan dari Rio. Itu semua tidak pernah terbayangkan di diri Anin, bahwa dia akan menjadi kakak ipar Rio kekasihnya. Sedangkan yang diinginkan Anin hanyalah Rio bukan Ali kakaknya.
Anin seperti tidak menemukan bagaimana itu arti kebahagiaan. Ketika dia berharap akan hidup seterusnya dengan laki-laki yang dicintainya. Justru semua orang seakan-akan tidak mengerti dengan perasaannya. Kisah cintanya dengan Rio dia simpan sendiri sebab tidak ada yang peduli dengan dirinya.“Terimakasih Rio karena telah menjadi bagian dari kisah hidupku. Aku akan tetap setia mencintaimu meski takdir tidak mengizinkan kita Bersama” ucap Anin dikursi pelaminan.