
Oleh : Audia Widyaningrum
Senja merayap di antara rimbun pepohonan, mengubah dedaunan hijau menjadi siluet keemasan. Di tengah hutan belantara yang jarang terjamah, tinggallah seorang wanita bernama Senja. Bukan karena ia lahir saat senja, melainkan karena ia adalah bagian dari senja itu sendiri – tenang, misterius, dan memancarkan kehangatan yang sulit dijelaskan.
Senja tidak ingat betul bagaimana ia bisa sampai di hutan ini. Ingatannya tentang masa lalu kabur, seperti mimpi yang perlahan memudar saat terbangun. Yang ia tahu pasti, hutan ini telah menjadi rumahnya selama bertahun-tahun. Pepohonan adalah sahabatnya, sungai adalah cerminnya, dan suara binatang adalah melodi kehidupannya.
Ia membangun gubuk sederhana dari kayu dan daun-daun palem di tepi sungai yang airnya jernih. Makanannya berasal dari hasil buruan dan tumbuhan liar yang ia kenali. Malam-malamnya diisi dengan suara jangkrik dan tatapan bintang-bintang yang bersinar terang di langit tanpa polusi.
Senja memiliki keahlian yang luar biasa dalam membaca hutan. Ia tahu jejak setiap binatang, mengenali setiap jenis tumbuhan, dan memahami perubahan cuaca hanya dengan mencium aroma angin. Ia bergerak di antara pepohonan dengan anggun, seperti rusa yang lincah, tanpa membuat suara yang mengganggu ketenangan hutan.
Namun, kesendirian terkadang menyelimutinya seperti kabut pagi. Ada kerinduan yang tak bernama, sebuah kekosongan yang ia sendiri tak mengerti asalnya. Ia sering duduk di tepi sungai saat senja tiba, memandangi pantulan dirinya di air yang berwarna keemasan, bertanya-tanya tentang siapa dirinya sebenarnya.
Suatu sore, saat ia sedang mencari jamur di dekat pohon beringin besar, ia mendengar suara asing. Bukan suara binatang, melainkan suara manusia. Jantungnya berdegup kencang. Selama bertahun-tahun, ia tidak pernah bertemu dengan manusia lain di hutan ini.
Dengan hati-hati, ia mengendap-endap di antara semak-semak. Ia melihat seorang pria terbaring di bawah pohon, tampak terluka. Pakaiannya compang-camping dan wajahnya pucat. Insting pertamanya adalah melarikan diri, kembali ke keamanannya di tengah hutan. Namun, ada sesuatu dalam diri Senja yang mencegahnya. Rasa iba? Atau mungkin, kerinduan akan sesamanya?
Perlahan, ia mendekati pria itu. Ia memeriksa lukanya, membersihkannya dengan air sungai, dan memberinya minum ramuan herbal yang ia buat. Pria itu membuka matanya perlahan. Ada kebingungan dan ketakutan di matanya saat melihat Senja.
Senja tidak berbicara. Ia hanya tersenyum lembut, memberikan isyarat bahwa ia tidak akan menyakitinya. Hari-hari berikutnya, Senja merawat pria itu. Ia memberinya makan, mengganti perbannya, dan menemaninya dalam diam. Perlahan, pria itu mulai pulih dan kepercayaannya pada Senja tumbuh.
Pria itu bernama Raga. Ia adalah seorang pengembara yang tersesat dan diserang binatang buas. Ia sangat berterima kasih pada Senja karena telah menyelamatkan hidupnya. Selama beberapa waktu, mereka berbagi cerita – Raga tentang dunia luar yang ramai dan penuh teknologi, Senja tentang kedamaian dan keindahan hutan.
Kehadiran Raga membawa warna baru dalam kehidupan Senja. Ia tidak lagi merasa sendirian. Ada percakapan, tawa, dan kehangatan di antara mereka. Namun, Senja juga menyadari bahwa dunia Raga berbeda jauh dengan dunianya. Suatu hari, Raga mengatakan bahwa ia harus kembali ke rumahnya.
Perpisahan itu terasa berat bagi Senja, meskipun ia tidak menunjukkannya. Ia mengantarkan Raga sampai batas hutan, tempat jalan setapak menuju desa terdekat berada. Saat Raga berbalik untuk mengucapkan terima kasih terakhir kali, Senja hanya tersenyum dan melambaikan tangan.
Setelah Raga pergi, hutan kembali sunyi. Namun, kesunyian itu tidak lagi terasa sama. Ada jejak kehadiran Raga di gubuknya, dalam percakapan yang pernah mereka lakukan, dan dalam rasa hangat yang tertinggal di hatinya.
Senja kembali ke rutinitasnya, berjalan di antara pepohonan, mendengarkan nyanyian burung, dan merasakan sentuhan lembut angin. Namun, kini, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia telah melihat dunia lain melalui mata Raga, dan meskipun ia tetap mencintai hutan sebagai rumahnya, ia tidak lagi merasa sepenuhnya terasing.
Saat senja kembali merayap di antara pepohonan, mewarnai langit dengan warna jingga dan ungu, Senja duduk di tepi sungai. Ia memejamkan mata, mendengarkan suara hutan yang tenang. Ia tahu, kehidupannya di hutan akan terus berlanjut, namun kini, ada melodi baru dalam nyanyian hutan untuknya, sebuah melodi tentang pertemuan, perpisahan, dan jejak hati yang tak akan pernah benar-benar hilang. Ia adalah bagian dari senja, dan senja akan selalu menjadi bagian dari dirinya, di tengah hutan yang menjadi rumahnya.