
Oleh : Deby Arum Sari
Bulan Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa, yang bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Islam. Bagi masyarakat Jawa, Suro dianggap sebagai bulan yang penuh makna spiritual dan nilai-nilai batin. Datangnya bulan ini tidak dirayakan dengan pesta, melainkan dengan suasana hening, penuh doa, dan laku prihatin. Suro menjadi waktu yang tepat untuk merenung, membersihkan hati, dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Berbagai tradisi lama masih dijaga sampai sekarang, seperti kirab pusaka dan tapa bisu yang biasa dilakukan di keraton Yogyakarta dan Surakarta. Kirab ini bukan hanya sekadar acara budaya, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur dan simbol kekuatan batin. Selain itu, banyak orang melakukan tirakat seperti puasa, semedi, dan ruwatan sebagai upaya untuk membersihkan diri dan memohon keselamatan.
Masyarakat Jawa umumnya menghindari mengadakan acara pernikahan atau pesta besar selama bulan Suro. Hal ini bukan semata karena mitos, tetapi karena keyakinan bahwa bulan ini sebaiknya diisi dengan ketenangan dan kehati-hatian. Suro lebih dimaknai sebagai waktu untuk menyepi, menata hati, dan menjauhi keramaian yang tidak perlu.
Dalam Islam, bulan Muharram—yang bertepatan dengan Suro—adalah salah satu bulan istimewa. Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk meningkatkan ibadah, seperti berpuasa dan memperbanyak amal baik. Oleh karena itu, tradisi laku prihatin yang dilakukan masyarakat Jawa di bulan Suro juga sejalan dengan ajaran Islam, yakni mengendalikan diri dan memperkuat hubungan dengan Allah SWT.
Bulan Suro mengajarkan pentingnya hidup sederhana, merenung, dan memperdalam nilai-nilai spiritual. Di tengah kesibukan zaman sekarang, pesan dari bulan Suro mengingatkan kita untuk sesekali berhenti, melihat ke dalam diri, dan memperbaiki niat hidup. Suro bukan hanya awal tahun dalam kalender Jawa, tapi juga menjadi simbol permulaan yang membawa harapan, ketenangan, dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup.