CerpenSastra

Cat Kayu dan Air

Oleh Miftakhur Rosidah

Di pagi yang cerah, suara burung berkicau bersahutan di taman kecil milik sekolah. Difla, Anjani, Rizki, dan Muna berdiri di bawah rindangnya pohon mangga, memandangi pagar kayu yang mengelilingi taman bunga. Mereka baru saja diberi tugas oleh ibu guru untuk mengecat ulang pagar itu agar terlihat lebih cerah dan segar. Semangat terpancar dari wajah mereka, masing-masing memegang kuas dan kaleng cat yang telah dicampur air, karena mereka pikir itu akan mempermudah pengecatan.

“Kayaknya kalau dicampur air lebih hemat deh,” ujar Rizki sambil menuangkan air ke dalam kaleng cat. Anjani mengangguk, “Iya, biar enggak terlalu kental, kan jadi gampang diratain.” Muna dan Difla hanya mengiyakan, meskipun mereka sedikit ragu. Tanpa pikir panjang, keempatnya mulai mengecat dengan penuh semangat, tertawa-tawa ketika sesekali cat menempel di pipi atau baju mereka.

Namun, beberapa menit setelah cat mulai mengering, warna yang seharusnya cerah malah terlihat kusam dan tidak rata. Bahkan ada bagian yang mulai mengelupas. “Kok warnanya aneh ya? Padahal tadi kelihatannya bagus waktu basah,” tanya Muna bingung. Anjani mengerutkan dahi, mencoba meratakan cat yang mulai retak-retak, tapi hasilnya malah makin parah.

Saat itulah seorang lelaki tak dikenal datang menghampiri mereka. Dia mengenakan topi jerami dan membawa sekotak perkakas kecil. “Kalian lagi mengecat pagar ya?” tanyanya dengan senyum ramah. “Iya, om. Tapi kok jadi jelek ya hasilnya?” jawab Difla. Lelaki itu memperkenalkan dirinya, “Nama saya Falak. Saya sering membantu merawat taman ini.”

Om Falak melihat kaleng cat mereka dan langsung tahu letak kesalahannya. “Cat kayu sebaiknya jangan dicampur air. Itu malah merusak komposisinya. Kalau mau lebih encer, pakai thinner atau pengencer khusus cat, bukan air. Air justru bikin cat susah nempel di kayu, apalagi kalau untuk luar ruangan.”

Keempat anak itu saling pandang, merasa malu dan tertawa kecil. “Wah, pantesan hasilnya kayak gitu,” ucap Rizki menepuk jidatnya.om Falak hanya tersenyum dan berkata, “Tidak apa-apa, kalian sudah berusaha. Sekarang ayo kita bersihkan dan mulai lagi dengan cara yang benar.” Mereka pun membersihkan cat lama dan memulai kembali pekerjaan mereka, kali ini dengan bimbingan om Falak dan tanpa mencampur air.

Hari itu berakhir dengan pagar taman yang tampak indah dan berwarna cerah. Difla, Anjani, Rizki, dan Muna belajar satu hal penting: kadang hal kecil seperti tidak mencampur air ke dalam cat bisa membuat perbedaan besar. Dan mereka pun pulang dengan tangan kotor cat, tapi hati yang penuh pelajaran dan tawa.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button