
Oleh: Ghaida Mutmainnah
Namaku Hanan. Aku siswa kelas sebelas di sebuah SMA negeri di pinggiran kota. Sekolahku tak terlalu besar, tapi cukup untuk membuatku merasa kecil. Setiap hari, aku duduk di bangku ketiga dari belakang, dekat jendela. Tempat itu memberiku ruang untuk mengamati langit tanpa harus banyak bicara dengan siapa pun.
Aku bukan anak yang pintar, tapi juga bukan yang malas. Nilai-nilaiku berada di ambang batas cukup. Guru-guru sering bilang aku punya potensi, tapi mereka juga tahu aku terlalu sering ragu untuk menunjukkannya.
Hari itu, angin pagi menyusup lewat celah jendela kelas. Suasana kelas hening ketika Pak Adi masuk membawa setumpuk kertas ujian. Ia meletakkan tumpukan itu di atas meja, menatap kami sejenak, lalu mulai membagikan satu per satu lembar jawaban matematika.
“Kita akan bahas soal-soal ini hari ini,” katanya sambil berjalan di antara bangku.
Ketika ia berdiri di hadapanku, aku menahan napas. Lembar ujianku jatuh ke atas mejaku seperti batu yang menenggelamkan harapan. Angka merah menyala itu seperti tamparan: “58”.
Pak Adi tak berkata apa-apa. Hanya menatapku sekilas sebelum melanjutkan ke siswa berikutnya. Tapi aku menangkap sesuatu dari tatapannya—bukan marah, bukan kecewa. Lebih seperti… kecewa yang sudah lelah.
Aku tak melihat ke arah teman-temanku. Tak ingin tahu siapa yang tertawa pelan, siapa yang menatapku kasihan. Aku hanya menatap lembar jawabanku sendiri, penuh coretan, tanda tanya, dan jawaban yang kuganti tiga kali sebelum akhirnya tak kujawab sama sekali.
Saat kelas bubar, Pak Adi menghampiriku. “Hanan, bisa sebentar ke ruang guru nanti setelah istirahat?”
Aku hanya mengangguk, meski di dalam hati aku ingin lari dan sembunyi di perpustakaan. Atau di balik lemari sapu. Atau ke mana pun asal bukan ke ruang guru.
Ketika lonceng istirahat berbunyi, aku melangkah pelan ke ruang guru. Nafasku berat, langkahku seolah membawa seluruh beban dunia. Di dalam, Pak Adi duduk sambil membuka laptop, lalu menatapku ketika aku mengetuk pintu.
“Duduk, Han.”
Aku duduk di kursi di depannya. Tanganku saling menggenggam di pangkuan, mencoba menenangkan getaran yang tak terlihat.
“Boleh jujur?” tanya Pak Adi.
Aku mengangguk.
“Kamu sebenarnya paham dengan materi ini, kan?”
Aku ragu menjawab. Tapi akhirnya berkata pelan, “Paham, sebagian besar.”
“Kalau begitu, kenapa di banyak soal kamu hanya tulis rumus, lalu kamu coret sendiri? Beberapa bahkan kamu kosongkan.”
Aku menunduk. “Saya takut salah, Pak.”
“Takut salah?”
Aku mengangguk. “Kalau saya jawab dan salah, rasanya lebih buruk daripada nggak jawab sama sekali.”
Pak Adi terdiam. Matanya memperhatikanku, tapi tidak dengan cara menghakimi. Lebih seperti seseorang yang sedang menyusun puzzle dari keping-keping yang hilang.
“Hanan,” katanya pelan, “kamu tahu apa yang membuat orang belajar berkembang?”
Aku menggeleng.
“Bukan karena mereka selalu benar. Tapi karena mereka berani salah. Salah itu bukan musuh. Salah itu guru.”
Aku menelan ludah, mencoba mencerna kata-katanya.
“Kamu overthinking,” lanjutnya. “Kamu lebih sibuk mengira-ngira apa yang akan terjadi jika kamu salah, sampai kamu lupa mencoba.”
Aku tak menjawab. Karena itu benar.
Malam harinya, aku duduk di meja belajar. Buku-buku terbuka, pensil ada di tangan. Tapi mataku menatap kosong ke arah soal latihan yang belum kusentuh.
Setiap aku ingin mulai mengerjakan, pikiranku diserbu suara-suara:
“Kalau kamu salah lagi, buat apa dicoba?”
“Temanmu sudah bisa sejak tadi. Kamu pasti ketinggalan.”
“Kamu memang nggak cukup pintar untuk ini.”
Aku menutup buku, lalu menunduk. Rasa sesak yang tidak bisa dijelaskan memenuhi dada. Inilah yang selalu terjadi. Aku ingin belajar, ingin bisa, tapi rasa takut membuat segalanya membeku.
Tapi malam itu berbeda.
Aku mengingat ucapan Pak Adi: “Salah itu guru”.
Aku membuka lagi bukunya. Kali ini, aku mencoba satu soal. Salah. Aku koreksi. Coba lagi. Salah lagi. Tapi aku teruskan. Satu demi satu. Sampai akhirnya aku berhasil menyelesaikan lima soal. Belum sempurna, tapi aku mencoba. Dan rasanya… tidak seburuk yang kutakutkan.
Hari-hari berikutnya, aku mulai berubah. Tidak drastis. Tidak langsung jadi juara kelas. Tapi aku mulai berani menjawab ketika ditanya. Mulai angkat tangan meski hanya untuk bilang “Saya kurang paham, Pak.” Dan mulai mencoba soal latihan tanpa harus menunggu mood datang.
Teman-temanku mulai memperhatikan. Ada yang bertanya kenapa aku jadi lebih aktif. Ada yang mengira aku sedang jatuh cinta. Tapi aku tahu, aku sedang berdamai dengan diriku sendiri.
Ketika ujian berikutnya datang, aku masih merasa gugup. Tapi kali ini, aku kerjakan semua soal. Tidak ada yang kosong. Meski beberapa jawabannya masih ragu-ragu, aku tetap isi.
Seminggu kemudian, ketika Pak Adi membagikan hasilnya, aku memelototi angka di pojok kertas itu. “78”. Nilai itu bukan tertinggi, tapi untukku, itu seperti medali.
Pak Adi lewat dan menepuk bahuku. “Masih ada ragu, tapi kamu berani melangkah. Itu kemajuan.”
Aku tersenyum kecil. Bukan hanya karena nilainya. Tapi karena aku tahu, aku sudah mulai menang. Bukan atas matematika, tapi atas pikiranku sendiri.
Beberapa bulan kemudian, Pak Adi memberiku kesempatan untuk menjadi mentor kecil bagi teman-teman sekelasku. Ia bilang, “Orang yang pernah ragu tahu cara membantu orang lain yang sedang ragu.”
Pertama kali mengajar teman sendiri bukan hal mudah. Aku takut mereka mengejek, meremehkan, atau menganggapku sok tahu. Tapi ternyata, banyak dari mereka juga mengalami hal yang sama: takut salah. Takut dianggap bodoh. Takut gagal.
Dan di situ aku merasa… tidak sendirian.
Tahun demi tahun berlalu. Kini aku duduk di bangku universitas, mengambil jurusan pendidikan matematika. Aku ingin jadi guru—bukan karena aku ingin terlihat pintar, tapi karena aku tahu bagaimana rasanya duduk di kelas dengan kepala penuh keraguan.
Kadang, saat aku mengoreksi tugas mahasiswa magang atau membantu adik kelasku di kampus, aku teringat masa-masa itu. Masa ketika aku lebih banyak diam daripada mencoba. Masa ketika angka 58 terasa seperti vonis.
Tapi aku juga ingat hari ketika aku memutuskan untuk menjawab meski ragu. Hari ketika aku belajar bahwa keberanian tidak selalu berarti yakin—kadang, keberanian adalah tetap melangkah meski dalam hati masih gemetar.
Suatu siang, saat pulang dari kampus, aku menerima pesan di media sosial dari nomor tak dikenal.
“Mas Hanan, saya murid SMA tempat Bapak Adi dulu ngajar. Sekarang beliau sakit. Katanya, kalau sempat, beliau ingin ketemu dengan orang yang pernah dia bilang ‘salah satu murid paling berani’.”
Aku terdiam lama membaca pesan itu. Lalu kujawab, “Besok saya datang.”
Karena di balik semua yang pernah aku capai, ada satu guru yang melihat potensi bahkan saat aku sendiri belum bisa melihatnya.
TAMAT