
Oleh: Audia Widyaningrum
Namanya Dita. Di Instagram, ia dikenal sebagai @ditadreams—seorang influencer dengan 1,2 juta pengikut, senyuman manis di setiap foto, kulit tanpa cela, dan hidup yang terlihat sempurna: kafe estetik, liburan ke Bali, tas bermerek.
Tapi di dunia nyata, Dita sering terjaga sampai jam tiga pagi, menatap layar ponselnya sambil menyesap kopi dingin dari gelas kemarin. Di balik senyuman di feed, ada mata lelah, kamar berantakan, dan hati yang hampa.
Ia pernah bahagia. Tapi sejak jumlah “like” jadi ukuran harga diri, Dita merasa harus terus tampil sempurna. Tak ada tempat untuk lelah. Tak ada ruang untuk jujur. Bahkan ketika hatinya patah karena dikhianati, ia masih mengunggah foto senyum dengan caption, “Love yourself first.”
Suatu malam, ia menerima pesan dari seorang pengikut remaja:
“Kak Dita, aku pengen kayak kakak. Hidup kakak sempurna banget. Aku ngerasa gagal.”
Pesan itu menghantamnya. Untuk pertama kalinya, Dita menangis bukan karena tekanan kerja, tapi karena sadar: citra yang ia bangun telah membohongi banyak orang, termasuk dirinya sendiri.
Esok harinya, Dita mengunggah sebuah foto tanpa riasan, tanpa filter. Di caption, ia menulis:
“Aku juga manusia. Aku juga pernah gagal, pernah takut, pernah merasa tidak cukup. Tapi hari ini, aku ingin mulai jujur. Ini aku. Apa adanya.”
Reaksinya luar biasa. Bukan karena tampil ‘cantik alami’, tapi karena keberaniannya. Ribuan komentar membanjiri postingannya, bukan hanya memuji, tapi juga berterima kasih. Banyak yang merasa tidak sendiri lagi.
Hari itu, Dita kehilangan beberapa ribu pengikut.
Tapi ia menemukan dirinya sendiri.