CerpenSastra

Langit yang Sama

Oleh : Deby Arum Sari

Hujan turun pelan di kota ini, mengalirkan sejuk yang justru membuat dadaku semakin sesak. Dari jendela kamar kost yang sempit ini, aku menatap langit yang muram—langit yang sama dengan langit di kampungku, tempat Ibu dan Bapak kini mungkin sedang duduk di teras sambil menyeruput teh panas.

Namaku Lestari, mahasiswa semester dua di sebuah universitas negeri di kota besar. Saat teman-temanku sibuk merencanakan liburan ke pantai atau mall, aku lebih sering memandangi layar ponsel—menunggu pesan dari rumah. Terkadang cuma satu kata dari Ibu, “Sehat?” tapi cukup membuat mataku basah.

Aku masih ingat hari keberangkatan itu. Ibu memelukku lama sekali, seakan tubuh kecilku akan larut dalam pelukannya. “Jangan lupa salat, jangan lupa makan,” katanya, seperti kaset rusak yang terus diulang—tapi kini justru jadi suara paling kurindukan.

Hidup di perantauan tak seperti yang dibayangkan. Awalnya aku kira akan mudah, cukup belajar, masak mie instan, dan tidur. Tapi siapa sangka, sepi ternyata bisa menusuk seperti pisau. Tidak ada suara ayam berkokok, tidak ada suara adikku yang selalu merengek minta dibelikan jajanan. Tidak ada aroma masakan Ibu yang sederhana tapi hangat.

Setiap malam, aku membuka galeri ponsel. Foto-foto Lebaran, tawa bersama keluarga, dan potret rumah kayu kami yang sederhana. Semuanya seperti panggilan dari masa lalu yang tak bisa kugapai. Kadang aku menangis diam-diam, takut teman sekamarku mengira aku lemah. Padahal mungkin, kami semua menyembunyikan rindu dengan cara masing-masing.

Satu hari, aku menelepon Ibu. Suaranya lirih, tapi hangat.

“Bu… Lestari capek. Kayaknya gak kuat kuliah di sini,” kataku, nyaris berbisik.

“Ndak papa nangis, Nak. Tapi jangan pulang cuma karena lelah. Kamu kuat, Ibu tahu itu. Kalau kamu bertahan, kamu sedang membangun masa depan. Tapi kalau kamu menyerah, kamu cuma memelihara rindu,” jawab Ibu.

Kalimat itu menghujam, bukan karena keras, tapi karena penuh cinta. Ibu tidak memaksaku, tapi dia percaya padaku. Dan kepercayaan itulah yang kini membuatku bangkit setiap pagi, meski mata masih sembab dan hati belum sepenuhnya tenang.

Aku belajar bahwa rumah bukan hanya tempat fisik. Rumah adalah rasa—rasa diterima, rasa tenang, rasa rindu yang anehnya membuatku tetap hidup. Dan meskipun kini aku jauh, aku percaya, langit yang kupandang adalah langit yang sama dengan yang menaungi rumah. Dan di bawah langit yang sama, doaku dan doa Ibu saling bertemu.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button