CerpenSastra

Sepatu dan Mimpi yang Terangkai

Oleh: Futimatul Islamiyah

Mentari pagi masih malu-malu mengintip di balik deretan gedung tinggi, namun Alisa sudah berdiri di depan cermin, mengamati pantulan dirinya. Seragam putih abu-abu yang sedikit lusuh, rambut dikepang asal-asalan, dan sepasang sepatu kets putih yang… yah, bisa dibilang sudah tak layak lagi. Solnya menguning, ada noda lumpur kering yang tak bisa hilang sempurna, dan talinya sudah putus sambung berkali-kali.

“Aduh, sepatu kesayangan,” gumamnya, sambil menghela napas. Sepatu itu adalah saksi bisu perjuangan selama setahun terakhir. Menemaninya menembus genangan air saat hujan, berlari mengejar bus yang lewat, bahkan ikut serta dalam latihan basket yang super melelahkan.
Di sekolah, sepatu Alisa memang sering jadi bahan ejekan. “Sepatu purba!” teriak Kevin, si populer dengan sepatu-sepatu bermerek yang selalu update. Alisa hanya tersenyum tipis. Biar saja. Toh, sepatu ini jauh lebih nyaman daripada sepatu-sepatu baru yang kaku dan belum “beradaptasi” dengan kakinya.

Suatu sore, saat Alisa sedang membenahi rak buku di perpustakaan sekolah, pandangannya jatuh pada sebuah pamflet. Lomba Penulisan Cerpen Remaja Tingkat Provinsi. Hadiahnya? Beasiswa pendidikan penuh dan sepasang sepatu olahraga edisi terbatas. Sepasang sepatu baru.

Jantung Alisa berdegup kencang. Menulis adalah dunianya. Diari lamanya penuh dengan coretan-coretan kisah fantasi, puisi tentang awan, dan tentu saja, cerita-cerita tentang sepatu usangnya. Tapi, ikut lomba? Alisa merasa minder. Ia tak punya laptop canggih, tak punya buku referensi mahal. Hanya selembar kertas dan pulpen usang yang selalu menemaninya.

Malam itu, di bawah temaram lampu belajar, Alisa mulai menulis. Ia menuangkan semua pengalamannya, semua impiannya, dan tentu saja, kisah tentang sepatunya yang setia. Setiap kata yang tertulis adalah curahan hati, setiap paragraf adalah bagian dari jiwanya. Ia menulis tentang bagaimana sepatu itu menemaninya melewati hari-hari sulit, bagaimana sepatu itu menjadi saksi bisu perjuangannya, dan bagaimana sepatu itu mengajarinya tentang arti kesetiaan dan ketahanan.

Beberapa minggu kemudian, pengumuman lomba ditempel di papan mading. Alisa berdiri di antara kerumunan siswa yang berteriak-teriak membaca daftar nama pemenang. Ia nyaris tak berani mencari namanya. Namun, tiba-tiba, ada sebuah tangan menepuk pundaknya. Itu Bu Rina, guru Bahasa Indonesia yang selalu mendukungnya.

“Selamat, Alisa,” kata Bu Rina, tersenyum hangat. “Namamu ada di urutan pertama.”
Alisa tak percaya. Matanya mengerjap, lalu pandangannya fokus pada tulisan paling atas: Juara 1: Alisa Putri – SMAN 2 Harapan Bangsa.

Di samping namanya, tertera judul cerpennya: Kisah Sepatu Putih Usang.
Air mata Alisa menetes. Bukan karena hadiah sepatu barunya, bukan pula karena beasiswa pendidikannya. Ia menangis karena ia berhasil membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk bermimpi. Sepatu usangnya telah membawanya terbang lebih tinggi dari yang ia kira.

Keesokan harinya, Alisa datang ke sekolah dengan sepasang sepatu kets putih edisi terbatas yang baru, berkilau. Tapi di tasnya, ia menyimpan sepasang sepatu usang lamanya. Sepatu yang mengajarkan padanya bahwa nilai sejati sebuah benda bukanlah pada harganya, melainkan pada kisah yang disimpannya, dan pada seberapa jauh ia bisa membawamu melangkah meraih mimpi. Sepatu usang itu kini adalah simbol, pengingat bahwa mimpi bisa terangkai dari hal-hal yang paling sederhana sekalipun.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button