
Oleh : Sufi Saniatul Mabruroh
Aroma harum menyeruak memenuhi seisi rumah setiap kali Nenek mulai berkutat di dapur. Bukan aroma masakan mewah, melainkan aroma sederhana yang tak pernah gagal membuat perutku keroncongan yakni mie kuah buatan Nenek. Bagiku, mie kuah itu bukan sekadar makanan penghilang lapar, melainkan juga kapsul waktu yang membawaku kembali ke masa kecil yang penuh kehangatan.
Nenek adalah sosok yang ajaib di mata seorang bocah sepertiku dulu. Permintaanku mulai yang sesederhana hingga serumit apapun, selalu diusahakan oleh beliau. Ingat betul bagaimana suatu sore, setelah menonton film kartun yang pemeran utamanya hobi makan ramen, aku merengek pada Nenek untuk dibuatkan mie kuah seperti di film. Bukan ramen otentik dengan nori dan chashu melainkan interpretasi polos seorang anak kecil tentang mie kuah yang lezat.
Tanpa banyak bertanya, Nenek mengangguk sambil tersenyum lembut. Aku pikir, paling-paling Nenek akan merebus mie instan biasa lalu menambahkan telur dan sawi seperti yang sering dilakukannya. Namun, dugaanku salah besar. Sore itu, Nenek mengeluarkan tulang ayam dari kulkas, merebusnya perlahan dengan bumbu-bumbu dapur yang aromanya langsung memeluk seluruh ruangan. Ia membuat kaldu sendiri.
Aku terheran-heran melihat kesungguhan Nenek. Ia bahkan membuat bola-bola daging kecil dari daging ayam giling, sesuatu yang tidak pernah dilakukannya untuk mie kuah biasa. Sayuran yang ditambahkan pun lebih beragam dari biasanya. Ada irisan wortel, daun bawang segar, dan taburan bawang goreng yang renyah. Saat semangkuk mie kuah hangat tersaji di hadapanku, lengkap dengan aroma kaldu yang kaya dan topping yang menggugah selera, mataku berbinar-binar. Rasanya jauh lebih istimewa dari mie instan biasa. Ada sentuhan kasih sayang di setiap suapannya.
Kala itu, aku hanya bisa menikmati tanpa benar-benar memahami betapa besar usaha yang telah Nenek curahkan untuk mewujudkan keinginan sederhana seorang cucu. Aku tidak melihat bagaimana Nenek harus pergi ke pasar di pagi hari, memilih tulang ayam dan sayuran segar dengan teliti. Aku tidak tahu berapa lama ia berdiri di depan kompor, mengawasi rebusan kaldu agar menghasilkan cita rasa yang sempurna. Yang aku tahu hanyalah, mie kuah buatan Nenek adalah yang paling enak di dunia.
Bertahun-tahun berlalu. Aku tumbuh dewasa dan mulai memahami kerasnya hidup. Kesibukan kuliah, pekerjaan, dan segala hiruk pikuk dunia seringkali membuatku lupa pada hal-hal kecil yang dulu begitu berarti. Namun, setiap kali pulang ke rumah dan mendapati semangkuk mie kuah hangat buatan Nenek terhidang di meja makan, kenangan masa kecil itu kembali menyeruak. Aromanya tetap sama, rasanya pun tak pernah berubah. Kehangatan kuahnya seolah memelukku, mengingatkanku pada kasih sayang tanpa syarat yang selalu Nenek berikan.
Baru kini aku menyadari, di balik kesederhanaan mie kuah itu, tersimpan pengorbanan dan cinta yang begitu besar. Nenek tidak pernah mengeluh atau menunjukkan betapa lelahnya ia mengurus rumah dan memenuhi keinginan cucu-cucunya. Ia melakukannya dengan tulus, dengan senyum di wajah, seolah tidak ada beban sedikit pun. Beliau selalu mengusahakan apapun yang aku minta, bahkan hal-hal kecil yang mungkin tidak pernah aku sadari betapa berharganya.
Kini, Nenek sudah semakin renta. Tangannya yang dulu cekatan kini terlihat keriput dan sedikit gemetar. Namun, semangatnya untuk membuatkan mie kuah kesukaanku tidak pernah pudar. Meskipun terkadang aku menolak dengan alasan tidak ingin merepotkannya, ia selalu bersikeras. Katanya, melihatku menikmati masakannya adalah kebahagiaan tersendiri baginya.
Suatu sore, saat aku menikmati semangkuk mie kuah buatannya, aku menggenggam tangannya yang hangat. Ada rasa haru yang tak tertahankan. Aku mengucapkan terima kasih untuk semua yang telah ia lakukan selama ini, untuk setiap mie kuah yang telah dibuat dengan cinta. Nenek hanya tersenyum lembut sambil mengusap rambutku. “Kamu cucu Nenek,” katanya sederhana.
Mie kuah buatan Nenek bukan hanya sekadar makanan. Ia adalah simbol cinta, pengorbanan, dan kehangatan keluarga. Ia adalah pengingat akan sosok yang selalu ada, yang selalu berusaha memberikan yang terbaik tanpa mengharap imbalan. Kelak, aroma mie kuah ini akan selalu membawaku kembali pada kenangan indah bersama Nenek, seorang wanita hebat yang tanpa sadar telah mengajarkanku banyak hal tentang arti kasih sayang yang sesungguhnya.