CerpenSastra

Pelangi Setelah Hujan

Oleh : Khansa Aisyatul Nabilla

Di sebuah desa yang terletak di kaki gunung, hiduplah seorang wanita bernama Siti. Setiap pagi sebelum fajar menyingsing, Siti sudah keluar dari rumahnya dan berjalan menuju ladang. Suaminya, Wahid sudah lima tahun terbaring sakit dan tak mampu lagi bekerja. Siti lah yang mengurus rumah, ladang, dan dua anak mereka yang masih kecil.

Ladang sayur dan buahnya terletak cukup jauh dari rumah, dan setiap hari Siti harus berjalan kaki melewati jalanan berbatu, melewati sungai kecil yang mengalir deras, dan memasuki hutan yang lebat. Meski kelelahan, ia tak pernah mengeluh. Ia tahu, hanya dengan bekerja keraslah ia bisa memberi makan anak-anaknya. Setiap hari sebelum matahari terbit, Siti sudah berkutat di dapur. Ia memotong sayur, mengemasnya dengan rapi, dan berjalan kaki ke pasar. Ia menjual hasil ladang dengan harga yang tidak banyak, cukup untuk membeli beras dan kebutuhan sehari-hari.

Namun, meski bekerja keras hidupnya tidak mudah. Gaji yang didapatkan tidak sebanding dengan usaha yang ia keluarkan. Hujan yang datang di musim penghujan seringkali merusak ladangnya. Tanah yang basah menjadi berlumpur dan tanaman yang ia tanam bisa rusak seketika. Meski demikian, Siti tidak pernah berhenti berusaha. Ia tahu, hidup tidak selalu mudah.

Pada suatu malam yang dingin, setelah bekerja seharian di ladang Siti kembali ke rumah. Ia duduk di teras rumah, memandangi langit yang tampak gelap dengan awan yang menumpuk. Angin malam berhembus, membawa suara daun-daun pohon yang bergesekan. Ia merasa lelah, tapi di dalam hatinya ada secercah harapan. Ia tahu, meskipun hidup penuh tantangan, ia harus terus berjuang.

Saat itu, anak bungsunya Aisyah, berlari menghampiri Siti dengan wajah ceria. “Ibu, ibu, lihat!” serunya sambil mengangkat buku kecil yang baru saja ia temukan di ruang tamu.

“Apa itu, nak?” tanya Siti sambil tersenyum.

Aisyah membuka buku itu dan menunjukkan sebuah gambar di dalamnya. “Ini gambar pelangi,” katanya, “Ibu bilang kan kalau setelah hujan akan ada pelangi.”

Siti menatap gambar itu. Dalam hati, ia berpikir, “Mungkin, seperti pelangi yang selalu muncul setelah hujan, harapan juga akan datang setelah perjuangan.” Ia meraih Aisyah, memeluknya erat, dan berkata, “Kita harus tetap berusaha, nak. Ibu yakin, akan ada pelangi di akhir jalan.”

Di tengah-tengah kehidupan yang penuh perjuangan, Siti tetap berdiri teguh. Ia tahu, di balik kesulitan hidup, ada kekuatan yang lebih besar yang akan menuntunnya melewati badai. Dengan tekad dan semangat yang tak pernah padam, Siti berjanji untuk tetap memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, meskipun hujan terus turun dan ladangnya sering terendam.

Pagi-pagi sekali, ketika Siti pergi ke ladang, hujan turun begitu deras. Ia tak gentar. Dengan mantel tipis yang membasahi tubuhnya, ia terus berjalan menuju ladang yang sudah hampir tenggelam oleh genangan air. Tanahnya licin, tapi ia tahu, di sana ada harapan yang menunggunya. Ia akan menanam lagi, meskipun musim hujan membuat segalanya tampak sulit. Ia yakin, setiap hujan yang datang akan membawa hasil yang baik jika ia terus berusaha.

Namun, tak disangka, saat Siti sedang membersihkan ladang, sebuah banjir bandang tiba-tiba datang menghanyutkan semuanya. Tanaman yang baru saja ia tanam hancur, dan rumahnya yang sederhana terendam air. Dalam kesulitan itu, Siti tidak menyerah. Meskipun barang-barang berharga yang ia miliki hilang, ia tetap tersenyum pada anak-anaknya dan berkata, “Ini bukan akhir, sayang. Kita bisa mulai lagi, kita bisa bangun kembali.”

Hari-hari berlalu. Warga desa datang memberi bantuan, membawa alat pertanian, bibit tanaman baru, dan beberapa bahan makanan. Warga mulai bekerja bersama, memulihkan ladang yang rusak, membersihkan rumah-rumah yang terendam, dan mendirikan kembali pilar-pilar harapan yang pernah runtuh.

Di antara kesulitan itu, Siti tetap berjuang. Ia menanam kembali bibit cabai, tomat, dan sayuran lainnya. Tanpa henti, ia bekerja dari pagi hingga malam, tidak mengenal lelah. Dan, setiap kali hujan datang, Siti hanya mengingatkan anak-anaknya untuk tetap berharap, bahwa hujan selalu membawa pelangi.

Satu bulan kemudian, ladangnya mulai menunjukkan hasil. Tanaman cabainya tumbuh subur, dan sayurannya segar. Hari-hari sulit mulai berlalu, dan kehidupan kembali berjalan. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali hujan turun, Siti tidak lagi merasa takut atau khawatir. Ia tahu, seperti pelangi yang selalu datang setelah hujan, begitu pula kehidupan. Setelah badai, akan selalu ada harapan yang indah menanti.

Suatu hari, setelah bekerja keras di ladang, Siti duduk di beranda rumahnya, memandang anak-anaknya yang bermain riang di halaman. Ia merasa damai, meskipun hidup masih penuh dengan tantangan. Di dalam dirinya, ada sebuah lentera yang tidak pernah padam, yang akan menerangi jalan-jalan gelap yang ia lalui.

Siti tersenyum, mengingat kalimat yang ia ucapkan beberapa waktu lalu, “Di tengah hujan, ada pelangi.” Ia tahu, di tengah kesulitan, akan selalu ada harapan yang menerangi jalan hidupnya. Dan seperti lentera yang selalu menyala, ia pun akan terus berjuang demi masa depan anak-anaknya, demi kehidupan yang lebih baik.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button