
Oleh: Deby Arum Sari
Langit sore itu seperti lukisan yang tak selesai—jingga, ungu, dan sedikit abu-abu, berbaur di cakrawala yang perlahan menelan matahari. Jalan basah bekas hujan memantulkan cahaya keemasan senja. Aroma tanah yang tergenang dan semilir angin sore membawa serta kenangan yang sudah lama terpendam.
Aku berdiri di depan Alfamart kecil di sudut jalan. Bukan tempat yang istimewa bagi banyak orang, tapi bagiku, tempat ini menyimpan satu potongan masa lalu yang sulit aku lupakan.
Di bangku depan toko itu, lima tahun lalu, dia pernah duduk. Menungguku. Sambil menyeruput teh botol yang kini sudah tak lagi dijual dalam kemasan kaca. Waktu itu, hujan juga baru reda, dan senja hadir dengan wajah yang serupa—muram tapi hangat.
“Aku suka senja. Karena dia mengajarkan kita untuk mengikhlaskan yang pergi perlahan,” katanya kala itu.
Aku tertawa kecil waktu itu, menanggapi kalimatnya yang puitis. Tapi sekarang, setiap kali senja datang, kata-katanya itu seperti gema yang tak pernah berhenti berdentang di kepala.
Namanya Raka. Lelaki sederhana, penyuka kopi sachet dan musik lawas. Kami bertemu di kelas bimbingan skripsi dan entah bagaimana, rindu mulai tumbuh di antara diskusi teori dan kutipan jurnal.
Tapi hidup, seperti senja, tak selalu menetap dalam keindahan. Setelah lulus, kami sama-sama mengejar masa depan—dengan arah yang berbeda. Dia ke timur, aku ke barat. Tak ada pertengkaran, hanya waktu yang tak berpihak.
Lima tahun kemudian, aku kembali. Bukan untuk mencarinya, tapi untuk mengenang. Kota ini tak banyak berubah, hanya hatiku yang kini lebih paham tentang kehilangan. Di bawah cahaya jingga sore, aku duduk di bangku yang sama. Menyentuh permukaannya yang dingin, seperti menyentuh masa lalu yang perlahan memudar.
Tiba-tiba, langkah seseorang terdengar di belakangku. Aku menoleh.
Raka.
Dia berdiri di sana, dengan rambut yang lebih pendek dan mata yang masih menyimpan senja.
“Masih suka senja?” tanyanya.
Aku mengangguk, tak sanggup berkata-kata.
Dia duduk di sampingku. Mengeluarkan teh botol dari tas kecilnya.
“Aku bawa ini dari rumah. Untuk mengenang.”
Aku tertawa pelan, lalu menangis.
Kadang, rindu tak perlu dijelaskan. Ia hanya perlu hadir. Seperti senja. Tak pernah menetap, tapi selalu dinanti.