
Oleh Zahra Agid Tsabitah
Hujan turun deras di sore itu. Anak-anak sudah pulang, hanya tinggal suara rintik air dan aroma tanah basah yang memenuhi ruang kelas tua di SD Negeri 3 Wonosari. Di pojok ruangan, seorang bocah lelaki bernama Reno duduk diam, memandangi papan tulis yang masih penuh coretan. Di tangannya, tergenggam erat sebatang kapur putih—pendek, hampir habis.
“Ibu Guru bilang, kapur ini seperti ilmu. Sedikit demi sedikit habis karena dibagi,” bisik Reno dalam hati, mengulang kata-kata Bu Lestari pagi tadi.
Bu Lestari adalah guru kelas 6 yang telah mengajar lebih dari dua puluh tahun. Rambutnya mulai memutih, langkahnya tak lagi gesit, tapi semangatnya tak pernah pudar. Hari ini, beliau memberi pelajaran terakhir sebelum pensiun. Tidak ada pesta meriah, tidak ada seremonial, hanya sebatang kapur yang ia berikan pada setiap murid, dengan satu pesan:
“Jangan pernah takut membagi apa yang kamu tahu. Seperti kapur ini, ilmu akan habis dalam dirimu jika tak dibagi. Tapi ketika kau ajarkan pada orang lain, ia hidup dalam banyak kepala, dalam banyak hati.”
Reno, anak tukang becak, bukan siswa paling pandai. Tapi ia selalu paling awal datang ke sekolah, duduk di bangku depan, dan menyimak dengan mata berbinar. Ia tahu, pendidikan adalah jembatan satu-satunya yang bisa mengubah nasibnya.
Sore itu, saat hujan reda, Reno berjalan pulang melewati gang sempit, menatap kapur di genggamannya. Ia tahu, ini bukan sekadar alat tulis. Ini adalah amanat. Harapan. Dan semacam janji bahwa suatu hari, ia akan kembali—bukan sebagai murid, tapi sebagai pengajar.
Tahun berlalu.
Dua dekade kemudian, seorang pria berdiri di depan ruang kelas yang dulu reyot, kini sudah berdinding kokoh dan berjendela kaca. Ia mengajar dengan semangat yang sama seperti Bu Lestari. Di laci mejanya, tergeletak kapur putih—pendek, hampir habis. Ia memegangnya, lalu menulis di papan tulis:
“Ilmu tidak untuk disimpan. Ia untuk dihidupkan.”
Dan Reno pun tersenyum. Ia telah menepati janjinya.