CerpenSastra

Hidup Setelah Viral

Oleh : Fitria Agustin Indah Yulianti

Adi sedang berjalan pulang dari kampus ketika melihat seekor kucing oranye kecil terjebak di cabang pohon beringin setinggi tiga meter. Anak kucing itu mengeong ketakutan, sementara di bawahnya berkumpul beberapa anak yang ikut panik.

“Kak, tolong dong kucingnya!” seru seorang bocah perempuan dengan mata berkaca-kaca.

Tanpa berpikir panjang, Adi melepas tas dan jaket, lalu mulai memanjat pohon. Ia berhasil meraih kucing itu dengan susah payah dan turun dengan selamat sambil menggendong si kucing yang kini sudah tenang.
“Terima kasih, Kak!” seru anak-anak itu sambil bertepuk tangan.

Adi tersenyum, mengelus kucing itu sebentar sebelum menyerahkannya pada nenek pemiliknya. Ia tidak tahu bahwa salah satu penonton merekam aksinya dan mengunggahnya ke TikTok dengan caption: “Mahasiswa Hero Selamatkan Kucing Lucu! 🐱❤️”

Keesokan harinya, Adi bangun dengan telepon yang berdering tak henti. Video penyelamatan kucing itu sudah ditonton 2 juta kali dalam semalam. Followers Instagram-nya naik dari 200 menjadi 50 ribu. Komentar berdatangan: “Cakep banget kakaknya!”, “Hero masa kini nih!”, “Mau dong ditolong sama dia!”

Seminggu kemudian, hidup Adi berubah total. Agency endorsement menghubunginya dengan tawaran puluhan juta. Stasiun TV mengundangnya sebagai bintang tamu. “Adi si Hero Kucing” menjadi terkenal di mana-mana.

Awalnya menyenangkan. Tapi lambat laun, Adi merasa terkekang. Setiap tindakannya dikomentari, hidupnya tidak lagi privat. Ketika terlihat capek, netizen bertanya apakah dia sakit. Ketika makan di warteg, ada yang mempertanyakan gaya hidupnya.
“Gue capek, Bud,” keluh Adi pada teman sekamarnya. “Gue cuma nolong kucing doang, kok jadinya hidup gue kayak dipajang di etalase?”

Tekanan puncak terjadi ketika Adi melihat mahasiswa jatuh dari motor di kampus. Refleks ingin membantu, tapi ia melihat orang-orang mulai mengeluarkan ponsel. “Wah, Hero Kucing beraksi lagi nih!” teriak seseorang. Adi sadar, bantuan yang akan ia berikan akan dinilai sebagai konten, bukan ketulusan.

Setelah membantu, video “Adi Hero Kucing Tolong Korban Kecelakaan” beredar lagi. Komentar berdatangan: “Salut sama Adi!” tapi juga “Udah mulai cari konten lagi ya?” Adi frustasi. Kalau membantu, dianggap cari konten. Kalau tidak, dianggap sombong.

Tiga bulan setelah viral, Adi mengalami burnout. Nilai kuliahnya turun drastis. Suatu malam, ia duduk sendirian di taman kampus. Ponselnya berdering dengan notifikasi: “10 juta followers! 🎉” Adi justru menangis. Sepuluh juta orang mengenalnya, tapi ia merasa sangat kesepian.

Keesokan harinya, di minimarket kampus, Adi melihat anak laki-laki berusia 7 tahun menangis tersedu-sedu. “Aku ga bisa ketemu Mama,” kata anak itu. Untuk pertama kali dalam tiga bulan, Adi bisa membantu seseorang tanpa takut dinilai atau direkam tidak ada yang memperhatikan, tidak ada kamera.

Mereka berkeliling mencari ibunya. Setelah 20 menit, bertemu sang ibu yang panik di area parkir. “Terima kasih banyak, Mas,” kata ibu itu dengan mata berkaca-kaca. “Sama-sama, Bu,” jawab Adi dengan senyum tulus.

Rasa bahagia yang ia rasakan berbeda dengan euphoria mendapat like. Ini lebih dalam, lebih tulus. Malam itu, Adi merekam video perpisahan: “Gue mau break dari semua ini. Gue mau hidup normal lagi, dan tetap membantu orang tapi tanpa perlu dipublikasikan. Gue mau jadi Adi yang biasa aja.”
Ia mengunggah video itu di semua platform, lalu log out.

Video perpisahannya justru viral lagi dengan komentar “Respect banget!” dan “Semoga bahagia, Adi!” Manager-nya marah dan memutus kontrak, tapi Adi merasa lega seperti beban terangkat.

Enam bulan kemudian, Adi kembali menjadi mahasiswa biasa. Followersnya turun drastis, tapi ia bahagia. Nilainya bagus, hubungan keluarga membaik. Suatu sore, ia membantu nenek yang terpeleset tanpa ada yang merekam. Tidak ada yang tahu, tapi Adi merasa damai.

Di warung bakso, ia bertemu Sari, mahasiswi kedokteran. “Kamu mirip Hero Kucing yang viral itu,” kata Sari tertawa. “Tapi gue lebih suka jadi Adi yang biasa aja,” jawabnya santai. Sari tersenyum, “Aku juga lebih suka yang natural.”

Setahun kemudian, Adi lulus dengan nilai memuaskan dan punya pacar yang mencintainya bukan karena ketenaran. Ia masih aktif membantu orang, bergabung komunitas relawan, mengajar di panti asuhan tapi tidak pernah lagi memposting untuk konten.

Seorang reporter mewawancarainya: “Tidak menyesal meninggalkan ketenaran?”
Adi tersenyum sambil mengelus kucing oren peliharaannya. “Viral itu seperti gula. Manis di awal, tapi kalau kebanyakan bisa bikin sakit. Kebahagiaan sejati bukan dari berapa banyak orang yang kenal kita, tapi dari seberapa tulus kita membantu. Dan yang paling penting, kebaikan tidak perlu di-upload untuk tetap bermakna.”

Artikel itu viral dengan judul “Hero Kucing Temukan Kebahagiaan Sejati Setelah Meninggalkan Dunia Maya.” Tapi kali ini Adi hanya tersenyum tanpa membacanya, sibuk merencanakan bersih-bersih pantai bersama komunitasnya.
Karena ia sudah tahu: kehidupan yang paling bermakna adalah yang tidak perlu dipamerkan untuk tetap berharga.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button