Berita

Sarung Menjadi Ciri Khas Santri

Oleh : Miftakhur Rosidah

Sarung telah menjadi salah satu ciri khas yang melekat kuat pada identitas santri di Indonesia. Pakaian ini bukan hanya sekadar kain panjang yang dililitkan di pinggang, melainkan juga simbol kesederhanaan, kearifan lokal, serta penghormatan terhadap tradisi pesantren. Di berbagai pondok pesantren, sarung dipakai dalam berbagai aktivitas sehari-hari, mulai dari mengaji, salat, hingga kegiatan belajar. Kehadiran Sarung menjadi lambang kesopanan dan keanggunan dalam berpakaian yang mencerminkan nilai-nilai Islam

Sarung menjadikan cara hidup santri sederhana, tanpa berlebihan, namun tetap menghormati nilai-nilai kesucian . Di balik kesederhanaannya, sarung mengajarkan tentang pentingnya menjalani hidup secukupnya dan tidak terjebak dalam kemewahan yang bersifat materi. Dalam dunia pesantren, penampilan bukanlah tolak ukur utama; justru akhlak dan ilmu adalah hal yang lebih diutamakan. Maka dari itu, sarung menjadi lambang perlawanan terhadap gaya hidup konsumtif dan hedonistik yang kian marak di luar lingkungan pesantren.

Lebih dari itu, sarung juga melambangkan persamaan di kalangan santri. Ketika semua santri mengenakan sarung, tak ada perbedaan terlihat terkait status sosial, kekayaan, atau latar belakang. Semua tampak setara dalam balutan kain yang sama. Nilai kesetaraan ini sangat penting dalam membentuk karakter santri menjadi pribadi yang rendah hati dan menghargai sesama.

Secara historis, sarung memiliki hubungan erat dengan penyebaran Islam di Indonesia. Para ulama di masa lalu mengenakan sarung ketika berdakwah, memberikan pengajaran, dan berinteraksi dengan masyarakat. Sarung menjadi jembatan budaya yang membantu Islam diterima secara baik, tanpa bertentangan dengan nilai-nilai lokal. Hingga saat ini, sarung tetap menjadi simbol keberagaman Islam yang khas di negara ini.

Di zaman modern ini dengan gaya hidup yang global sarung masih teguh sebagai ciri khas budaya yang kuat di kalangan santri. Banyak santri dan alumni pesantren yang bangga mengenakan sarung di luar pesantren, bahkan dalam acara resmi atau di tempat umum. hal Ini menunjukkan bahwa sarung bukanlah simbol kemunduran, namun sebuah warisan budaya yang sepatutnya dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi mendatang.

Banyak anak muda sekarang juga mulai meninggalkan penggunaan sarung karena menganggapnya ketinggalan zaman atau kurang praktis. Oleh karena itu, perlu adanyalangkah kreatif untuk mengembalikan nilai dan filosofi sarung melalui pendidikan budaya, literasi sejarah, serta inovasi dalam desain dan penggunaannya. Santri masa kini juga bisa berperan sebagai pelestari budaya dengan menjadikan sarung bagian dari gaya hidup yang modern namun tetap bermakna.

Di Momentum Hari Santri, contohnya, dapat dimanfaatkan untuk memperkenalkan sarung dengan lebih luas. Melalui lomba berpakaian sarung, pertunjukan mode bertema santri, hingga kampanye di media sosial, sarung dapat dipresentasikan sebagai simbol budaya yang membanggakan. Ketika sarung dikenakan dengan pemahaman yang mendalam akan nilai-nilainya, ia akan menilai sarung buakn dari sekadar pakaian bahkan menjadi sebuah pernyataan jati diri.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button