Berita

Hujan di Sore Hari

Oleh : Fitria Agustin Indah Yuianti

Rintik hujan mulai membasahi kaca jendela kafe kecil di sudut jalan. Adeeva menatap keluar sambil menggenggam cangkir kopi yang sudah hampir dingin. Sudah setengah jam ia menunggu, tapi Ali
belum juga datang.

“Mungkin dia tidak akan datang,” gumamnya pelan.

Adeeva mengingat pesan singkat yang diterimanya tadi pagi. Setelah tiga tahun tidak bertemu, tiba-tiba Ali mengirim pesan meminta bertemu. Tanpa penjelasan, tanpa alasan yang jelas. Hanya alamat kafe ini dan waktu pukul empat sore.

Hujan semakin deras. Adeeva memutuskan untuk pergi ketika suara familiar memanggilnya dari belakang.

“Adeeva?”

Ia menoleh dan melihat Ali berdiri di pintu masuk, basah kuyup dengan napas terengah-engah. Rambut hitamnya yang dulu selalu rapi kini berantakan, dan mata cokelatnya masih sama seperti yang Adeeva ingat, hangat namun menyimpan sesuatu yang dalam.

“Maaf terlambat. Motor mogok di tengah jalan,” kata Ali sambil duduk di hadapan Adeeva. Bahkan cara bicaranya masih sama, sedikit terburu-buru ketika gugup.

“Sudah lama?” tanya Ali, berusaha terdengar santai meski jantungnya berdebar.

“Tiga tahun, lima bulan, dua minggu,” jawab Adeeva tanpa ragu.

Ali terkejut. Ia tidak menyangka Adeeva masih menghitung.
Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara hujan dan percakapan pelan pengunjung lain yang mengisi ruang. Adeeva memainkan sendoknya, menunggu Ali menjelaskan alasan pertemuan ini.

“Aku akan menikah bulan depan,” kata Ali akhirnya.

Adeeva merasakan dadanya sesak, tapi ia berusaha tersenyum. “Selamat. Siapa orangnya?”
“Teman kuliah. Keluarga sudah mengenalnya lama.” Ali menatap mejanya. “Deeva, aku… aku perlu mengatakan sesuatu sebelum semuanya terlambat.”

“Ali—”

“Tidak, biarkan aku bicara.” Suara Ali bergetar.

“Tiga tahun lalu, ketika aku memilih beasiswa ke luar negeri dan meninggalkanmu, itu adalah kesalahan terbesar hidupku. Aku pikir aku bisa melupakan, memulai yang baru. Tapi tidak bisa, deev. Tidak sehari pun aku tidak memikirkanmu.”

Adeeva merasakan air mata menggenang di matanya. “Lalu kenapa sekarang? Kenapa ketika kamu akan menikah dengan orang lain?”

“Karena aku pengecut,” jawab Ali jujur. “Aku takut kalau aku kembali, kamu sudah tidak menungguku. Aku takut kalau aku sudah kehilanganmu selamanya.”

“Dan sekarang?”

Ali mengulurkan tangannya di atas meja, hampir menyentuh tangan Adeeva. “Sekarang aku tahu, meski sudah terlambat, aku harus memberitahumu bahwa kamu adalah cinta terbesar dalam hidupku. Dan aku minta maaf karena tidak cukup berani untuk memperjuangkanmu.”

Adeeva menarik tangannya, berdiri dari kursi. “Kamu benar, Ali. Sudah terlambat.” Suaranya tenang, meski hatinya hancur. “Aku juga mencintaimu. Sangat. Tapi aku tidak bisa menjadi alasan kamu merusak hidup orang lain.”

Ali menatapnya dengan mata yang penuh penyesalan.

“Jadilah bahagia, li. Belajarlah mencintai calon istrimu seperti dulu kamu mencintaiku. Dia berhak mendapatkan seluruh hatimu, bukan separuhnya.”

Adeeva mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi. “Dan terima kasih. Karena sekarang aku tahu bahwa cinta kita nyata. Itu sudah cukup bagiku.”

Hujan masih turun ketika Adeeva melangkah keluar dari kafe. Ia tidak menoleh ke belakang, meski mendengar Ali memanggilnya. Beberapa cinta memang indah justru karena tidak bisa dimiliki. Dan terkadang, melepaskan adalah bentuk cinta yang paling tulus.

Di dalam kafe, Ali duduk sendirian, menatap hujan yang mulai reda. Di mejanya, tergeletak cincin pertunangan yang seharusnya ia berikan pada calon istrinya besok. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar kehilangan.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button