
Oleh: Deby Arum Sari
Hari itu seperti hari biasa. Aku masuk kelas, meletakkan tas di bangku paling belakang dekat jendela—tempat favoritku dan Rani. Tapi hari itu, bangku di sebelahku kosong. Lagi.
Sudah dua minggu Rani tidak masuk. Katanya cuma sakit flu. Tapi kenapa tak sembuh-sembuh?
Aku sempat menulis pesan:
“Rani, cepat sembuh ya. Aku bosen duduk sendirian. Kelas jadi sepi tanpa kamu ngomel soal PR.”
Dia tidak membalas. Hanya dibaca.
Aku mulai cemas. Tapi orang tuanya bilang Rani masih butuh istirahat.
Hari ke-15, wali kelas masuk dengan wajah berbeda. Matanya sembab, suaranya berat. Kami semua tahu ada yang tidak beres.
“Anak-anak,” katanya pelan, “Rani telah berpulang tadi pagi. Doakan dia, ya.”
Dunia tiba-tiba hening. Napasku tercekat.
Aku pikir itu lelucon paling buruk yang pernah ada. Tapi tak ada yang tertawa.
Aku lari keluar kelas. Hujan turun deras, seperti tahu hatiku pecah.
Aku ingat betul hari terakhir kami bertemu. Dia sempat bilang:
“Kalau suatu hari aku nggak duduk di sebelahmu, kamu jangan pindah, ya. Tungguin aku.”
Dan aku mengangguk, mengira itu cuma ucapan biasa.
Ternyata… itu janji terakhirnya.
Seminggu setelah kepergiannya, aku masih duduk di tempat biasa. Bangku sebelahku kosong. Tapi aku tetap menyapanya setiap pagi.
“Pagi, Rani. PR Matematika susah banget, loh.”
Dan saat bel pulang berbunyi, aku pun berbisik:
“Sampai besok, ya.”
Teman-teman bilang aku aneh. Tapi bagiku, Rani masih di situ—dalam tawa kami, dalam coretan buku catatannya yang masih tersisa, dan dalam setiap kenangan yang menolak pergi.
Kini, aku tak lagi berharap dia kembali. Aku hanya ingin mengenangnya dengan bahagia. Karena kadang, orang yang paling kita sayang… datang untuk mengajarkan arti kehilangan.