CerpenSastra

Aku Manusia dan Kamu Bukan Bidadari

Oleh: Sufi Saniatul Mabruroh

Namaku Ayu. Ironis, bukan? Nama yang berarti “cantik”, tapi aku justru jadi bahan ejekan karena bentuk tubuhku yang dianggap jauh dari kata ideal. Sejak kecil, aku sudah akrab dengan kata-kata seperti “gendut”, “gapura kecamatan”, “penyimpanan lemak”, dan segudang julukan lain yang dilontarkan entah untuk bercanda atau sekadar menyakitkan.

Yang menyakitkan bukan hanya kata-kata itu, tapi siapa yang mengucapkannya. Bukan laki-laki, tapi sesama perempuan. Teman sekelasku sendiri. Orang yang dulu duduk satu bangku denganku, membagi bekal dan cerita cinta-cintaan, kini malah ikut mendorongku ke pojok penuh hinaan.

Pernah suatu hari, saat ganti pakaian untuk pelajaran olahraga, aku terlambat keluar dari ruang ganti karena ritsleting seragamku macet. Saat aku akhirnya keluar, tawa itu meledak. “Eh, si Ayu kesulitan keluar dari baju, kayak lemari baju mau meledak,” kata Dila, ketua geng populer di sekolahku. Teman-temannya ikut tertawa.

Aku menahan tangis. Tapi di dalam hati, aku remuk.
Tak hanya aku yang jadi korban. Ada Lita, teman sekelasku yang tinggi dan kurus seperti tiang bendera. Dia sering disebut “jangkung kerempeng”, “kutilang (kurus tinggi langsing tapi nyaris hilang)”, dan kadang bahkan dibandingkan dengan bayangan sendiri. Ironis, ya? Seseorang bisa dibenci hanya karena tubuhnya tak seperti yang diharapkan orang lain.

Ada juga Intan, teman kami yang berkulit gelap dan jarang berbicara. Beberapa teman perempuan yang mengaku glowing dan skincare addict sering bercanda kejam padanya. “Tan, kamu pakai sunscreen atau oli goreng?” dan “Warna kulitmu bisa bikin tembok sekolah jadi terang.” Tawa menyambung. Intan hanya tersenyum hambar atau mungkin menahan air mata yang sudah terlalu sering jatuh.

Dan anehnya, semua ini seperti jadi budaya. Seolah saling menjatuhkan sesama perempuan adalah hal yang biasa, bahkan lucu. Kita tumbuh diajari untuk tampil sempurna, bukan kuat. Untuk bersaing soal wajah dan tubuh, bukan pikiran dan hati.

Suatu hari di kelas dua SMA, ada lomba menulis esai tingkat sekolah. Temanya tentang “Penerimaan Diri”. Aku menulis dengan sepenuh hati. Tentang bagaimana sulitnya menjadi “berbeda” di dunia yang memuja kesempurnaan fisik. Tentang betapa sakitnya hidup dalam bayang-bayang standar kecantikan yang sempit. Tentang keinginan untuk hanya dianggap manusia, bukan tubuh yang harus dinilai dari angka timbangan.

Esai itu aku beri judul: “Aku Manusia dan Kamu Bukan Bidadari”.

Salah satu paragrafnya berbunyi:
“Jika aku harus mengukur harga diriku dari lingkar pinggang dan pipi chubby-ku, maka habislah aku. Aku ingin dunia tahu bahwa aku manusia, punya hati, punya cita-cita. Dan kamu, yang merasa paling sempurna, mungkin lupa satu hal: kamu bukan bidadari. Kamu juga manusia. Bisa salah. Bisa kejam.”

Tak kusangka, esai itu menang juara pertama. Saat namaku disebut di panggung, aku sempat melihat beberapa wajah yang dulu sering mengolok-olokku menunduk diam. Salah satu dari mereka bahkan datang dan berkata lirih, “Maaf, Yu. Ternyata kita yang sempit pikirannya.”

Aku hanya tersenyum kecil. Maaf memang bisa diucapkan, tapi luka itu tidak serta-merta hilang. Meski begitu, hari itu aku merasa sedikit lebih bebas. Bukan karena orang-orang berubah, tapi karena aku mulai mencintai diriku sendiri.

Kini aku duduk di bangku kuliah dan aktif sebagai relawan kampanye anti bullying. Aku bercerita di banyak forum tentang luka-luka kecil yang dulu dianggap candaan. Tentang Lita, Intan, dan diriku sendiri yang pernah merasa asing di tubuh sendiri karena tekanan sekitar. Semua pengalaman itu membuatku sadar, bahwa yang paling berbahaya dari body shaming adalah ketika ia dibiarkan tumbuh dalam diam, dijadikan kebiasaan, bahkan ditertawakan bersama. Maka mulai sekarang, kita semua harus belajar berhenti mengomentari tubuh orang lain, sekecil apa pun itu. Karena sebelum kita membuka mulut, kita tak pernah tahu luka seperti apa yang sedang ditanggung seseorang. Dan sebelum merasa paling sempurna, ingatlah satu hal yaitu tak ada manusia yang terlahir sebagai bidadari.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button