
Oleh: Anisa Rejeki
Namanya Raka. Kakakku satu-satunya. Selisih umur kami cuma dua tahun, tapi terasa seperti dua generasi. Dia pencinta rock, aku pendengar lagu galau. Dia aktif di lapangan, aku betah di kamar. Singkatnya: kami seperti Tom and Jerry, selalu ada alasan untuk bertengkar, tapi sulit benar untuk benar-benar berpisah.
Setiap pagi, suara ribut kami sudah jadi alarm di rumah. Entah karena rebutan kamar mandi, rebutan saluran TV, atau cuma karena dia iseng nyembunyiin sandal jepitku. Mama sudah hafal, cukup teriak dari dapur, “Udah, udah, damai dulu sebelum sarapan!”
Tapi ya begitu lagi keesokan harinya.
Raka memang suka usil, tapi aku juga nggak kalah nyolot. Kadang aku sengaja nyembunyiin headset-nya, atau ngerusak tatanan koleksi action figure-nya. Kami saling balas dendam, tapi diam-diam saling perhatian juga. Misalnya, saat aku sakit, dia yang paling cerewet soal obat. Tapi tetap saja, habis sembuh, balik berantem lagi.
Sampai akhirnya, masa SMA kami berakhir. Raka lulus duluan, dan memutuskan kuliah di luar kota. Saat ia pamit, aku masih bersikap sok cool.
“Biasa aja lah, paling juga tiga bulan udah pulang,” kataku sambil main HP.
Tapi ternyata… sepi juga. Nggak ada lagi yang teriak-teriak nyari charger. Nggak ada yang ngerecokin aku di kamar. Rumah jadi terlalu tenang. Aku baru sadar: berantem itu ternyata bagian dari caraku menyayangi dia.
Awalnya kami masih sering video call. Tapi makin lama, makin jarang. Raka sibuk dengan tugas dan organisasinya. Aku juga mulai masuk SMA dan punya kesibukan sendiri. Tapi tetap saja, ada hari-hari di mana aku duduk di tangga depan, menatap pintu, berharap dia tiba-tiba pulang bawa oleh-oleh dan cerita lucu.
Sampai satu hari, Mama terima telepon dari Raka. Katanya, dia libur kuliah dan mau pulang. Aku langsung pura-pura cuek, tapi diam-diam bersihin kamarnya dan beli makanan favoritnya.
Begitu dia tiba, aku menatapnya di depan pintu. Dia lebih kurus, lebih dewasa, tapi tetap dengan gaya rambut acak-acakan yang nyebelin.
“Hei, kenapa? Nggak kangen aku?” tanyanya sambil nyengir.
Aku pura-pura menguap. “Kangen apanya. Rumah cuma lebih bersih tanpa kamu.”
Kami tertawa, dan seolah tidak pernah terpisah. Dalam lima menit, kami sudah ribut soal siapa yang duluan mandi. Seperti biasa. Seperti tak ada jeda waktu.
Tapi malam itu, saat semua sudah tidur, kami duduk di teras. Hanya ditemani suara jangkrik dan angin malam. Tanpa saling sindir, tanpa saling ejek.
“Aku kangen, tahu,” ujarku pelan.
Raka menoleh. “Aku juga. Tapi ya gitu… hidup harus jalan.”
Kami diam lagi. Tapi keheningan itu nyaman.
“Rasanya aneh ya,” lanjutku. “Dulu kita ribut tiap hari. Sekarang malah rindu kalau nggak ada suara kamu.”
Raka tertawa kecil. “Itu namanya sayang tapi gengsi.”
Aku hanya nyengir. “Kapan balik lagi?”
“Belum tahu. Tapi pasti balik. Rumah tanpa kamu juga… sepi.”
Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa ribut-ribut kecil kami bukanlah masalah, tapi justru cara kami menunjukkan perhatian.
Karena aku sadar, suatu hari nanti, saat hidup benar-benar membawa kami ke arah yang berbeda, kenangan-kenangan itulah yang akan mengisi ruang rindu di hati.