ArtikelEsai

Tatah Rasa, Ukir Budaya

Oleh : Ratna Sari

Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, hiduplah seorang pemuda bernama Diwang. Sejak kecil, Diwang dikenal sebagai anak yang pendiam namun penuh rasa ingin tahu. Ia tumbuh di tengah keluarga pengrajin topeng tradisional yang digunakan dalam pertunjukan wayang topeng, seni pertunjukan yang perlahan mulai ditinggalkan masyarakat.

Ayah Diwang, Mbah Rono, adalah salah satu dari sedikit seniman yang masih mempertahankan tradisi membuat topeng kayu. Tangannya telah menatah ribuan topeng, masing-masing memiliki cerita dan karakter khas. Namun usia Mbah Rono yang semakin renta membuatnya tak lagi sekuat dulu. Ia berharap Diwang mau meneruskan tradisi keluarga.

Sayangnya, Diwang sempat ragu. Teman-temannya banyak yang memilih merantau ke kota, bekerja di pabrik atau menjadi kurir daring. Hidup di kota tampak lebih menjanjikan. Namun satu kejadian mengubah semuanya.

Suatu sore, Diwang menemukan sebuah topeng tua di gudang belakang rumah. Topeng itu berbeda dari yang lain—berlapis warna emas kusam, dengan ukiran rumit di sekitar dahi dan mata. Di balik topeng itu terukir tulisan tangan: “Topeng Ki Prawira – Sang Penjaga Tradisi.”

Mbah Rono yang melihat Diwang memandangi topeng itu tersenyum tipis. “Itu topeng pertama yang kubuat bersama guruku, Ki Wismo. Katanya, selama topeng itu masih utuh, tradisi kita akan tetap hidup.”

Kata-kata itu menghujam hati Diwang. Malam itu, ia tak bisa tidur. Ia terbayang wajah Mbah Rono yang semakin renta, juga cerita-cerita masa kecil tentang para penari yang bergerak luwes sambil memakai topeng penuh karakter. Ia sadar, jika bukan dirinya yang melanjutkan, siapa lagi?

Sejak hari itu, Diwang mulai belajar dengan tekun. Ia mengamati setiap gerakan tangan Mbah Rono saat menatah, menghafal motif-motif ukiran, hingga mengenali jenis kayu yang cocok untuk setiap tokoh. Tak hanya membuat topeng, Diwang juga belajar menari, mengikuti setiap irama gamelan dengan jiwa.

Tahun berikutnya, bertepatan dengan Festival Budaya Lereng Sumbing, Diwang tampil untuk pertama kalinya sebagai penari wayang topeng. Ia memakai Topeng Ki Prawira dan menarikan lakon “Semar Mbangun Kayangan”, kisah tentang kebijaksanaan dan ketulusan. Penonton terdiam. Lalu riuh tepuk tangan membahana.

Seorang budayawan yang hadir saat itu menulis di media sosial: “Tradisi tidak mati. Ia hanya menunggu seorang Diwang untuk membangunkannya kembali.”

Kini, Diwang tak lagi merasa ragu. Di tengah zaman yang terus berubah, ia memilih untuk berdiri kokoh sebagai penjaga budaya, meneruskan warisan leluhurnya—satu ukiran, satu tarian, satu topeng pada satu waktu.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button