
Oleh: Audia Widyaningrum
Malam itu, di sudut sebuah desa di pinggir Surabaya, udara terasa lebih pekat dari biasanya. Bukan karena polusi, melainkan karena Suro telah tiba. Langit tak berbintang, seolah ikut menahan napas. Di dalam rumah kayu kecil yang usianya mungkin setua pohon mangga di halaman, Mbah Darmi duduk bersila di depan meja kecil. Di depannya, segelas air bening, setangkup bunga melati, dan sebatang dupa yang asapnya meliuk-liuk memenuhi ruangan dengan aroma cendana.
Mbah Darmi adalah salah satu dari sedikit orang di desa itu yang masih teguh memegang tradisi. Baginya, Suro bukan hanya awal tahun baru Hijriah, tetapi juga bulan keramat, waktu di mana batas antara dunia nyata dan alam gaib menipis. Sejak senja tadi, tak ada suara gaduh dari luar. Para tetangga memilih untuk berdiam diri di rumah, memadamkan lampu terang, dan menghindari kegiatan-kegiatan yang dianggap bisa “mengundang” hal-hal tak diinginkan.
“Janji kok, Le,” bisik Mbah Darmi pada dirinya sendiri, suaranya serak. Ia teringat nasihat mendiang suaminya, Pak Karto, yang selalu menekankan pentingnya ngajeni (menghormati) bulan Suro. “Nek wani, kudu ngerti tepa slira.” (Kalau berani, harus tahu menempatkan diri). Menghormati berarti menenangkan diri, tidak melakukan hal-hal yang berlebihan, dan menjaga laku.
Jarum jam dinding kayu bergerak lambat, namun setiap detiknya terasa membawa bobot. Mbah Darmi memejamkan mata, membiarkan pikirannya berkelana. Ia mengingat saat ia masih kecil, bagaimana ibunya selalu menyiapkan sesajen kecil di ambang pintu saat malam Suro, memohon keselamatan bagi keluarga. Atau bagaimana ayahnya membersihkan keris pusaka mereka dengan penuh khidmat. Tradisi-tradisi itu, bagi Mbah Darmi, bukan takhayul kosong. Itu adalah jembatan yang menghubungkannya dengan masa lalu, dengan leluhurnya, dan dengan alam semesta yang lebih besar.
Tiba-tiba, suara tangis bayi sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Mbah Darmi tersentak. Ia tahu itu suara cucu tetangganya, Rina, yang baru saja melahirkan seminggu yang lalu. Pikirannya melayang pada Rina, anak muda modern yang mungkin tak lagi memahami makna Suro. Mbah Darmi menghela napas. Bukan salah Rina, zaman memang telah berubah. Pemahaman akan Suro kini terpecah. Ada yang melihatnya murni sebagai Muharram, bulan awal tahun Islam untuk introspeksi diri. Ada pula yang masih teguh pada tradisi Kejawen, menjaga pantangan dan melakukan ritual.
Namun, bagi Mbah Darmi, kedua pandangan itu tidak bertentangan. Justru, keduanya adalah bagian dari satu kesatuan: sebuah ajakan untuk merenung, membersihkan diri (baik secara fisik maupun spiritual), dan menghormati siklus kehidupan. Suro adalah jeda, pengingat bahwa manusia tidak sendirian di alam semesta ini, dan ada hal-hal yang melampaui logika semata.
Ketika malam semakin larut, dan asap dupa menipis, Mbah Darmi bangkit. Ia membuka pintu kayu rumahnya perlahan. Udara malam yang lembap menerpa wajahnya. Di luar, semuanya masih gelap dan sepi. Namun, ia merasa ada kedamaian yang menyelimuti. Seperti sungai yang mengalir tenang, malam Suro telah mengalirkan kedamaian ke dalam jiwanya. Ia percaya, di balik kesunyian dan kehati-hatian ini, ada berkah yang menanti di hari-hari esok.