
Oleh : Khansa Aisyatul Nabilla
Pagi hari di Temanggung datang bukan hanya dengan cahaya matahari, tapi juga dengan bau khas tanah basah, embun yang belum mau pergi dari dedaunan, dan aroma tembakau yang baru dipetik dari kebun lereng gunung. Di Desa Ngadimulyo, salah satu dusun kecil di kaki Gunung Sumbing, Pak Manto duduk di kursi kayu di serambi rumahnya. Ia memegang cangkir email berisi kopi hitam pekat yang diseduh langsung dari dapur kayu milik istrinya, Bu Warti. Di depan rumah, tikar pandan sudah tergelar, siap untuk menjemur daun tembakau yang baru dipetik. Sementara itu, anak-anak sekolah berseragam merah-putih lewat di depan rumah sambil mengayuh sepeda onthel. Beberapa dari mereka menyapa dengan suara ceria, “Sugeng enjing, Pak!” disambut senyum Pak Manto yang sederhana tapi hangat. Di desa ini, semua orang saling kenal, saling menyapa meskipun hanya bertemu sepintas. Tidak ada kata terburu-buru. Semua berjalan dalam ritme yang sama: tenang, sabar, dan penuh syukur.
Bu Warti, dengan rambutnya yang diikat sederhana, membawa nampan berisi pisang goreng dan wedang jahe. “Sarapan dulu, Pak. Sebelum matahari naik tinggi,” ujarnya sambil duduk di sebelah suaminya. Mereka berbicara pelan, tentang cuaca yang akhir-akhir ini tak menentu, tentang daun tembakau yang warnanya tak secerah tahun lalu, dan tentang anak mereka, Dina, yang baru saja pulang dari pondok. Dina duduk di lantai, menyisir rambutnya sambil mendengarkan radio tua yang memutar lagu-lagu campursari. Ia tak banyak bicara, tapi senyum di wajahnya cukup menenangkan suasana. Siang hari, setelah urusan jemur-menjemur selesai, warga desa biasanya berkumpul di warung Bu Yatmi. Sebuah bangunan kecil berdinding anyaman bambu, dengan kursi kayu panjang dan toples-toples kaca berisi camilan tradisional. Obrolan mengalir seperti arus sungai, ringan tapi menghidupkan. Dari harga pupuk yang makin naik, panen yang tak menentu, sampai cerita anak tetangga yang akan menikah dengan perantau dari Batam. Tak ada yang dibahas terlalu serius. Semua tawa, semua cerita, mengalir begitu saja. Temanggung bukan tempat yang mewah. Tapi di sini, semua orang merasa cukup. Sore hari, langit mulai memerah. Dingin pelan-pelan turun dari gunung. Pak Manto menutupi daun-daun tembakau dengan kain agar tak lembab terkena embun malam.
Sementara Bu Warti menyiapkan makan malam ada nasi jagung, sayur bayam, dan sambal terasi. Di dapur, suara kayu yang terbakar berpadu dengan suara lesung menumbuk bumbu, menciptakan irama rumah yang sederhana namun penuh makna. Setelah makan malam, keluarga itu duduk bersama. Tidak ada televisi, hanya obrolan ringan dan gelak tawa. Dina bercerita tentang kehidupan di pondok, tentang teman-teman barunya, tentang cita-citanya menjadi guru. Pak Manto mendengarkan dengan khusyuk, lalu berkata, “Yang penting, apa pun mimpimu, jangan lupakan asalmu. Bau tembakau ini, bunyi kodok di sawah, dan kopi buatan ibumu itu semua bagian dari siapa kamu.”
Malam di Temanggung datang seperti selimut tenang. Angin dari gunung meliuk lewat celah-celah jendela, dan suara malam mulai terdengar seperti jangkrik, kodok, dan desah angin menyentuh daun pisang. Di rumah-rumah kecil, lampu petromak menyala temaram, menemani orang-orang yang bersiap tidur setelah seharian berkutat dengan tanah, daun, dan harapan. Di tempat sederhana seperti ini, hidup mungkin tidak bergelimang kemewahan, tapi setiap hari selalu diisi dengan kejujuran, kerja keras, dan kehangatan. Temanggung bukan hanya tempat di peta. Ia adalah rumah bagi hati yang tak pernah tergesa-gesa, dan bagi orang-orang yang percaya bahwa hidup cukup jika hati merasa penuh.