
Oleh Khansa Aisyatul Nabilla
Hujan telah turun sejak pagi. Gerimis lembut menyapa bumi, meresap ke dalam tanah yang sudah lama merindukan sentuhan langit. Laila berdiri terpaku di bawah pohon besar yang tumbuh di pekarangan rumah masa kecilnya. Hari itu, ia kembali ke kampung halamannya bukan untuk berlibur atau menyambung nostalgia masa kecil, melainkan untuk sebuah perpisahan yang tak pernah ia bayangkan yakni kepergian sang ayah untuk selamanya.
Tangannya menggenggam erat sebuah payung hitam tua. Gagangnya mulai berkarat, dan kainnya sudah memudar warnanya. Namun payung itu menyimpan kenangan tak ternilai. Payung itu dulunya selalu dibawa sang ayah setiap kali menjemputnya pulang sekolah saat hujan turun. Meski terlihat sederhana dan tua, payung itu bagai pelindung dari segala gundah dan dingin dunia.
Laila menatap rumah tua di hadapannya dengan tatapan hampa. Rumah itu saksi bisu pertumbuhannya dari anak kecil yang polos menjadi remaja penuh gejolak, hingga akhirnya pergi meninggalkan rumah demi pendidikan dan pekerjaan. Seiring waktu, ia mulai menjauh. Hubungan dengan ayahnya pun tak lagi hangat. Ia merasa ayahnya terlalu banyak menasihati, terlalu sering mengekang, hingga akhirnya ia pergi dengan kata-kata yang tak sempat ditarik kembali.
Kini, ayahnya telah tiada. Dan Laila kembali, membawa rindu dan penyesalan yang menyesakkan. Ia melangkah pelan menuju teras rumah dan duduk di kursi kayu tua yang dulu menjadi tempat ayahnya bersantai setiap sore. Hujan masih turun perlahan. Suara tetes air dari ujung atap terdengar seperti irama duka. Laila membuka payung tua itu dan memayungi dirinya sendiri, seolah berusaha menahan kenangan agar tidak mengalir bersama air hujan.
“Maafkan aku, Yah,” gumamnya pelan. “Aku terlalu lama untuk kembali. Terlalu sibuk membuktikan bahwa aku bisa berdiri sendiri, hingga lupa bahwa aku pernah dibesarkan dengan cinta yang sederhana namun tulus.”
Langkah kaki mendekat perlahan dari arah luar pagar. Seorang pria berjaket abu-abu datang sambil membawa termos dan dua cangkir teh. Ia menghampiri Laila dan duduk di sebelahnya tanpa banyak bicara. Rafi, tetangga lama sekaligus teman masa kecilnya, kini tinggal dan mengurus beberapa rumah warga yang sudah lanjut usia.
“Masih ingat teh panas buatan Ibumu?” tanya Rafi, menyodorkan satu cangkir.
Laila tersenyum tipis dan menerimanya. Aromanya membawanya kembali ke masa kecil, ketika hujan adalah alasan untuk berkumpul dan bercerita.
“Ayahmu sering duduk di sini setiap kali hujan,” ucap Rafi lirih. “Payung itu selalu diletakkannya di kursi sebelahnya. Ia tidak pernah menyalahkanmu karena pergi. Ia hanya menunggu.”
Laila menunduk. Air matanya jatuh, bercampur dengan gerimis yang mengembun di wajahnya. Payung tua di tangannya seolah memeluknya dalam keheningan. Dulu, ia merasa malu dijemput dengan payung lusuh itu. Kini, ia bahkan tak ingin melepaskannya.
“Aku tidak sempat berpamitan. Bahkan untuk mengucapkan ‘terima kasih’, aku terlalu gengsi,” katanya nyaris berbisik.
“Orang tua tidak menuntut ucapan terima kasih,” jawab Rafi pelan. “Mereka hanya ingin tahu anaknya bahagia dan baik-baik saja. Mencintai dalam diam, dan menunggu dalam sabar.”
Mereka terdiam sejenak. Hanya suara hujan yang menemani. Laila menatap langit yang masih kelabu, namun perlahan mulai menunjukkan semburat cahaya. Ia menghela napas panjang, seolah melepaskan semua luka dan sesal yang selama ini dipendam.
“Aku akan tinggal di sini beberapa waktu,” ucapnya akhirnya. “Ada banyak hal yang ingin aku perbaiki. Meski Ayah sudah tiada, aku ingin mengenang dan meneruskan apa yang beliau cintai.”
Rafi mengangguk. “Aku bisa bantu jika kamu butuh apa pun. Ini kampung kita. Tidak semua hal bisa diulang, tapi banyak yang masih bisa diperbaiki.”
Di bawah langit yang mendung, di teras rumah yang penuh kenangan, dan dengan payung tua di tangan, Laila merasa hatinya perlahan menjadi lebih ringan. Ia tahu, penyesalan tidak akan mengubah masa lalu. Namun keberanian untuk kembali, untuk menghadapi dan memperbaiki, adalah bentuk cinta yang tak kalah besar. Oleh :