ArtikelOpini

Mitos “Makan Tidak Habis, Ayamnya Mati”, Budaya atau Hanya Gertakan?

Oleh: Yafika Aribah

Di Indonesia, sering terdengar ungkapan “Kalau makannya tidak habis nanti ayanya mati”. Ungkapan tersebut sering digunakan oleh orang tua, terutama ibu ketika sedang menyuapi anak-anaknya makan. Dalam Bahasa Jawa, khususnya di daerah ngapak Banjarnegara biasa di ungkapkan dengan kalimat “Nek maeme ora telas, ngko pitike mati”. Mitos tersebut sebenarnya digunakan oleh orang tua untuk mengajarkan anak-anak agar menghargai makanan. Namun, dibalik ancaman tersebut, apakah saat ini mitos tersebut sudah benar-benar dihilangkan atau hanya sebagai cara agar anak-anak patuh?

Sebagian masyarakat percaya bahwa, mitos tersebut merupakan nilai-nilai kearifan lokal yang memiliki makna penting untuk lebih menghargai rezeki. Makanan sering dianggap sebagai hasil jerih payah dari orang tua mencari rezeki yang tidak boleh dibuang-buang. Menyisakan makanan dianggap tidak menghargai petani, pedagang, serta ibu atau seseorang yang telah susah payah memasak. Dengan menggunakan mitos tersebut anak-anak akan takut jika ayam peliharaannya mati.Dengan demikian, orang tua berharap anak-anak akan sadar pentingnya menghargai makanan.

Mitos tersebut memang memiliki maksud yang baik. Akan tetapi, mitos tersebut sudah tidak relevan dengan kehidapan yang modern seperti saat ini. Hal itu, dapat menimbulkan perasaan “dipaksa” untuk menghabiskan makanan, dalam jumlah besar sekalipun. Dengan begitu, maka akan tercipta kebiasaan buruk makan berlebihan. Memaksa diri untuk menghabiskan makanan memang bukanlah solusi yang terbaik. Oleh karena itu, harus lebih bijak dalam mengambil suatu keputusan, dengan cara mengambil makanan sesuai dengan porsi makan. Dengan begitu, dapat menjadi solusi terbaik dalam menghargai rezeki.

Di era modern ini, mungkin bisa mengganti mitos tersebut untuk menakut-nakuti anak lebih baik diganti dengan pendekatan edukasi, seperti mengajarkan bagaimana perjalanan nasi dari petani menanam padi di sawah hingga menjadi makanan yang akan di makan. Dengan begitu, anak-anak tidak perlu trauma “ayamnya mati”. Selain itu, melatih anak-anak untuk berpikir logis tentang cara menghargai rezeki.

Mitos “makan tidak habis,ayamnya mati” mungkin sudah melekat menjadi bagian dari cerita masa kecil banyak orang, tetapi zaman sudah semakin berubah. Intinya tetap sama, yaitu untuk mengajarkan rasa hormat kepada rezeki. Akan tetapi, dapat kita lakukan dengan cara yang relevan dan lebih logis. Karena pada dasarnya, ayam-ayam peliharaan di kandang tetap baik-baik saja, selama menjaga keseimbangan pola makan dan tidak membuang-buang makanan.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button