CerpenSastra

Satu Tahun Sekali

Oleh : Deby Arum Sari

Langit sore itu muram. Daun-daun kering berjatuhan perlahan, seperti rasa rindu yang tak pernah benar-benar usai. Di sudut kampus, di bangku taman yang sudah mulai rapuh dimakan usia, Aira duduk dengan earphone terselip di telinganya. Suara musik lembut mengalun, tapi pikirannya terbang jauh, ke sebuah pondok pesantren yang bahkan sinyal pun enggan singgah di sana.

Sudah tiga tahun. Sejak lulus dari SMA, Aira dan Raka menjalani hubungan yang hanya bisa diisi oleh kata-kata lewat surat atau sesekali percakapan suara yang dipenuhi “halo… kamu denger gak?” dan “ulangin, putus-putus.”

Mereka memulai kisah itu ketika duduk di bangku SMA. Raka, si ketua kelas yang rajin dan Aira, murid teladan dengan catatan nilai yang selalu nyaris sempurna. Mereka tak pernah benar-benar menyatakan cinta layaknya anak muda yang gemar menggembar-gemborkan hubungan, tapi diam-diam, semua orang tahu. Tatapan Raka yang melembut saat memandang Aira, atau cara Aira menyisihkan tempat duduk untuk Raka di setiap kegiatan kelompok, semuanya bicara lebih keras dari seribu kata.

Setelah kelulusan, takdir membawa mereka ke jalan yang tak sama. Aira diterima di salah satu kampus ternama. Sementara Raka memilih untuk memperdalam ilmu agama di pondok pesantren di Jawa Timur. Pesantren yang ketat—hanya mengizinkan santri keluar setahun sekali saat libur Idul Fitri.

“Aku tahu ini nggak mudah,” kata Raka saat mereka bertemu terakhir kali di gerbang sekolah, sehari sebelum Raka berangkat ke pesantren. “Tapi kalau kamu masih percaya, aku akan tetap ada.”

Aira mengangguk pelan. Tidak ada pelukan. Tidak ada genggaman tangan. Hanya angin sore yang membawa pergi janji-janji diam mereka.

Hari-hari berjalan seperti biasa. Aira larut dalam rutinitas kuliah, organisasi, dan tugas-tugas yang tak ada habisnya. Tapi malam-malam tetap sepi. Ia terbiasa menulis surat untuk Raka. Surat-surat yang ia kirim setiap awal bulan, kadang dibalas, kadang hanya dibaca diam-diam oleh Raka saat malam tiba, diterangi lampu redup di kamarnya di pondok.

Hari ini, satu tahun sekali itu datang kembali. Lebaran. Aira tahu, hari ini Raka akan pulang.

Ia berdiri di depan terminal, menanti dengan jantung berdebar. Dari kejauhan, sosok itu datang. Tubuhnya lebih kurus, wajahnya lebih teduh. Tapi tatapan matanya tetap sama—menenangkan, menentramkan.

“Assalamualaikum,” sapa Raka, suaranya sedikit bergetar.

“Waalaikumsalam,” Aira menjawab pelan. Ada yang menggenang di sudut matanya.

Mereka berjalan beriringan di jalan setapak menuju taman kota, tempat yang dulu sering mereka singgahi seusai pulang sekolah.

“Maaf ya, nggak bisa sering ngabarin,” kata Raka, menunduk. “Tapi aku selalu mikirin kamu.”

Aira tersenyum, meski matanya basah. “Aku tahu, Rak. Aku tahu.”

Mereka duduk di bangku taman yang mulai tua, seperti kisah mereka yang perlahan dewasa. Tidak banyak kata yang perlu diucap. Hanya diam yang mengerti seberapa dalam rindu itu mengakar.

Raka membuka tas kecilnya dan mengeluarkan buku catatan lusuh. “Aku tulis banyak hal tentang kamu di sini. Tentang kita. Tentang harapan-harapan kecil yang aku simpan tiap malam.”

Aira menerima buku itu dengan hati yang hangat. Ia membuka salah satu halaman, dan membaca:

“Jika tahun ini kamu masih sabar, aku akan pulang. Tapi jika nanti kamu lelah, aku mengerti. Aku hanya ingin kamu bahagia, walau mungkin bukan denganku.”

Aira menutup buku itu, lalu memandang Raka.

“Jangan pernah tulis hal itu lagi,” ucapnya pelan tapi tegas. “Aku nggak pernah nunggu untuk dilepasin. Aku nunggu untuk dijemput.”

Raka menatapnya dalam, lalu tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak tiga tahun terakhir, senyum itu bukan lagi sekadar pengingat masa lalu. Tapi janji akan masa depan.

Dan ketika senja menyapa langit kota kecil itu, Aira dan Raka masih duduk berdampingan. Tak perlu genggaman. Tak perlu pelukan. Hanya kepercayaan dan rindu yang setia menemani.

Satu tahun sekali. Tapi cukup untuk menguatkan hati.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button