
Oleh: Audia Widyaningrum
Hujan turun perlahan di sore yang sepi. Di sebuah rumah tua dengan jendela kayu yang menghadap ke halaman, Dira duduk bersandar sambil memeluk cangkir teh hangat. Di seberang jendela, di dalam rumah yang berjarak hanya beberapa meter, Raka—tetangganya sejak kecil, sahabatnya, dan kini seseorang yang hatinya tak pernah pergi.
Mereka punya kebiasaan yang tak biasa. Setiap sore, mereka duduk di jendela masing-masing, saling memandang dan bercerita. Tak perlu bertemu langsung, cukup lewat celah udara yang memisahkan dua bangunan tua.
“Dira, kamu ingat cerita tentang pohon di belakang rumah kita dulu?” tanya Raka, suaranya lirih tapi jelas.
“Yang katanya bisa bicara kalau tengah malam?” Dira tersenyum. “Kamu yang bilang itu waktu kecil. Aku percaya setahun penuh, tahu nggak?”
Raka tertawa kecil. Suara hujan menjadi latar yang sempurna. Sore-sore seperti ini, mereka akan bicara tentang apa pun: masa kecil, mimpi, ketakutan, bahkan hal-hal kecil seperti warna langit atau bentuk awan.
Jendela itu jadi saksi, sejak mereka masih anak-anak bermain tali loncat, remaja yang saling diam-diam menyimpan rasa, hingga kini—dua orang dewasa yang belum juga bisa menyebut perasaan mereka dengan lantang.
Suatu sore, Raka berkata, “Dira, kalau suatu hari jendelaku tertutup, kamu jangan khawatir. Aku pasti buka lagi. Tapi kalau kamu tutup jendelamu duluan… apa aku masih boleh mengetuknya?”
Dira terdiam lama. Lalu menjawab pelan, “Kamu nggak perlu mengetuk, Rak. Jendelaku selalu terbuka… buat kamu.”
Dan mereka kembali diam, saling memandang dalam hening yang penuh arti. Tak butuh pelukan, tak butuh genggaman. Hanya dua jendela, dua hati, dan ribuan cerita yang belum selesai.