
Oleh : Anisa Rejeki
Di ujung kampung kami, berdiri sebuah pohon beringin besar yang sangat tua. Orang-orang menyebutnya Beringin Kramat. Daunnya lebat, akarnya menjuntai ke tanah seperti lengan-lengan yang ingin menangkap siapa pun yang mendekat.
Sejak kecil, kami bertiga aku, Rino, dan Lala, selalu dilarang mendekati pohon itu. Kata orang tua, pohon itu ada penunggunya. Dulu pernah ada anak kecil yang main petak umpet di dekat situ dan hilang. Sampai sekarang nggak pernah ketemu.
Tapi larangan sering kali justru membuat penasaran, kan?
“Kalau sore ini kita ke sana, berani nggak?” tantang Rino suatu hari saat kami pulang sekolah.
“Berani dong!” sahutku spontan. Sebenarnya merinding, tapi gengsi kalau nolak.
Lala sempat ragu. “Kata Mbah, jangan ke sana pas matahari hampir tenggelam…”
“Tapi kita nggak akan lama,” potong Rino cepat. “Cuma lihat bentar, terus pulang.”
Dan begitulah, sore itu kami diam-diam menyelinap ke arah beringin tua, membawa senter kecil dan nyali yang mulai menciut.
Sesampainya di sana, udara terasa berbeda. Angin berhembus dingin, meski matahari masih menggantung malu-malu. Daun beringin bergemerisik, seolah menyambut kami.
“Ayo deketin,” bisik Rino sambil menyorotkan senter ke akar pohon yang besar dan melingkar seperti ular tidur.
Kami berjalan pelan. Langkah kami menyentuh tanah yang mulai lembab, dan aroma tanah basah bercampur bunga kamboja menusuk hidung. Lala menggenggam tanganku erat.
Tiba-tiba, senter Rino mati.
“Eh?! Baterainya habis?” tanyanya panik sambil mengetuk-ngetuk.
Aku nyalakan tasku yang juga bawa senter. Tapi entah kenapa, nyalanya redup, lalu mati juga.
Sunyi.
Angin berhenti. Daun tidak lagi bergerak. Waktu seolah membeku.
Dan… terdengar suara.
“Main… yuk…”
Kami saling menatap. Suara itu kecil, seperti anak kecil yang mengajak bermain. Tapi… di mana sumbernya?
Lala mulai menangis pelan. “Itu siapa…?”
“Main… di sini aja… bareng aku…”
Suara itu kini terdengar dari dalam batang beringin. Aku menelan ludah. Pelan-pelan, aku mendekat.
Seketika, dari balik akar besar, muncul tangan kecil—pucat, kotor, dengan kuku panjang menghitam.
Kami menjerit bersamaan dan lari sekuat tenaga meninggalkan pohon itu. Nafas kami tersengal, kaki bergetar, tapi tak berani berhenti sampai tiba di depan rumah Lala.
Kami diam. Tak satu pun bicara. Sampai akhirnya, malamnya, aku bermimpi aneh.
Dalam mimpi itu, aku berada di bawah pohon beringin. Ada anak kecil duduk di akar, menangis.
“Aku ketinggalan main… temani aku…” katanya.
Wajahnya pucat, matanya hitam kosong. Tubuhnya penuh tanah. Aku ingin lari, tapi tubuhku kaku. Ia mendekat…
Aku terbangun dengan napas memburu.
Besoknya, aku ceritakan mimpi itu ke Rino dan Lala. Ternyata… mereka mimpi yang sama.
Kami putuskan cerita ini cukup sampai di sini. Sejak hari itu, kami tak pernah lagi mendekat ke beringin tua itu. Tapi kadang, saat sore menjelang malam, kami masih mendengar suara sayup dari kejauhan.
“Main… yuk…”
Dan kami tahu, penunggunya masih ada. Masih menunggu teman bermain.