
Oleh: Dewi Puji Lestari
Di tengah kesunyian malam, hujan deras turun disertai langit yang penuh kilat cahaya petir sesekali menerangi kamar sosok gadis yang gelap dan sedang berkutat dengan kenyataan pahit yang masih menjeratnya. Gadis itu ialah Tari.
“Nak! Ada apa denganmu?” seru suara seorang wanita paruh baya yang melihat anaknya sangat terpuruk.
Tari mengangkat wajahnya, wajah penuh air mata kesedihan. Wanita paruh baya di depannya adalah orang yang selama ini memperingatkannya untuk tidak berteman dengan orang jahat itu, yang mana sahabatnya sendiri.
“Bu, Tari menyesal selama ini tidak mendengarkan apa yang ibu peringatkan ke Tari.”
Wanita paruh baya itu duduk di samping Tari, mengusap lembut rambut putri satu-satunya. Kedua mata Tari bengkak karena terlalu lama merasakan kepedihan.
“Ibu selalu ingin yang terbaik untukmu, Nak. Dan yang paling penting sekarang adalah kamu bangkit dari penyesalan dan penderitaanmu,” ujar wanita paruh baya itu dengan penuh dukungan.
Tari menghela napas, mencoba menguatkan dirinya. “Tari tahu, Bu. Aku terlalu mempercayai sahabatku sendiri. Padahal di..aa yang membawa Tari terjerumus ke hal yang salah ini, dan sekarang hancur semua mimpi-mimpi Tari, bahkan aku belum sempat memberikan kebahagiaan pada ayah dan ibu.”
Wanita paruh baya itu memeluk erat Tari, mencoba memberikan kehangatan di tengah malam yang dingin. “Tidak ada yang tidak bisa diperbaiki, Nak. Kita bisa belajar dari kesalahan dan berusaha memperbaikinya.”
Tari yang mendengar perkataan ibunya merasa sangat menyesal telah menyia-nyiakan wanita di hadapannya ini. Mata semakin memberat, hembusan nafas halus mulai terdengar.
Tari terlelap sambil bergumam “Tuhan, jika aku diberikan kesempatan. Izinkan aku untuk kembali ke masa-masa bahagia itu biar aku bisa menebus segala kesalahanku di masa lalu.”
Ibu yang melihat putrinya sudah tertidur pulas mulai melangkah meninggalkan kamar putrinya.
*
Suara burung berkicau mulai terdengar bersahutan, seorang gadis di balik selimut mulai terusik dengan suara kicauan burung.
“Pukul berapa ini?” sambil melirik jam di balik nakas.
“HAH, gawat sudah pukuk 7. Aku belum persiapan berangkat kerja.” Gadis itu belum menyadari akan penampilannya yang berbeda. Saat bangkit dari tempat tidur tak sengaja dia melihat ke arah cermin dan tersadar bahwa penampilannya berbeda dengan sebelumnya.
“Kenapa ini? kenapa penampilanku seperti aku di 5 tahun yang lalu?” gadis itu bertanya-tanya dalam pikirannya.
“Apa mungkin aku kembali ke masa itu?”
“Ti..tidak mungkin.”
“Akhh, sakit sekali” usap gadis itu ke pipinya yang dia cubit untuk membuktikan bahwa itu bukan mimpi.
“Terima kasih Tuhan, telah memberikan Tari kesempatan untuk kembali ke masa ini dan mengubah segala penyesalan di waktu itu. Kali ini aku akan berusaha memberikan yang terbaik dan membayar penderitaan orang tuaku selama ini, serta membalas orang munafik itu” ucap Tari.
Dengan cepat, Tari bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap. Setiap sentuhan make-up mengingatkannya pada masa-masa dirinya mendapatkan pekerjaan pertama kali. Setelah selesai merias diri, Tari bergegas menuju ruang ganti. Dia terkejut melihat pakaian yang dipersiapkan ibunya untuk pertama kali masuk kerja. Rasa canggung dan bahagia menyelinap di hatinya.
“Ini adalah kesempatan dari Tuhan, Aku harus memanfaatkannya dengan baik,” gumam Tari pada dirinya sendiri.
Dalam perjalanan menuju tempat kerja, Tari mencoba mengingat kejadian-kejadian dan keputusan yang dia ambil lima tahun lalu, termasuk keputusan menjadi teman orang munafik itu.
Setibanya di tempat kerja, Tari memutuskan dan memanfaatkan kesempatan ini baik-baik dengan menghindari kesalahan-kesalahan yang terjadi di masa lalu dan menyusun strategi untuk menghindar dari orang-orang yang akan menjerumuskannya.
*
Waktu berjalan dan setiap waktu Tari melangkah ke jalan positif. Memperbaiki kesalahan dan mewujudkan impiannya yang terpendam. Dengan rasa Syukur, Tari sadar bahwa kesempatan yang diberikan Tuhan bukan hanya mengubah takdirnya. Namun, juga memberikan pengaruh positif pada orang yang ada di sekitarnya.